Berita Terkini

3046

MEKANISME PENYUSUNAN DAERAH PEMILIHAN

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Daerah Pemilihan (Dapil) dibentuk sebagai kesatuan wilayah/daerah berdasarkan jumlah penduduk untuk menentukan alokasi kursi sebagai dasar pengajuan calon oleh pimpinan partai politik dan penetapan calon terpilih. Hal ini disampaikan oleh Endun Abdul Haq, Anggota KPU Provinsi Jawa Barat, dalam acara diskusi secara webinar “Pangkal Paham Kajian Mendalam” (PPKM) dengan tema pembahasan Pendapilan yang diselenggarakan dengan oleh Anggota KPU Divisi Teknis se-Jawa Barat secara daring, Selasa (13/07/2021). Diskusi ini dilakukan untuk memanfaatkan waktu persiapan mendalami hal-hal yang bersifat tugas-tugas yang akan kita hadapi untuk penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan Tahun 2024, ujar Endun. Endun mengatakan jika KPU Kabupaten/Kota sebagai eksekutor dalam Penataan Dapil Anggota DPRD Kabupaten/Kota harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Kesetaraan Nilai Suara, yaitu upaya untuk meningkatkan nilai suara (harga kursi) yang setara antara satu dapil dan dapil lainnya dengan prinsip satu orang-satu suara-satu nilai; (2) Ketaatan Pada Sistem Pemilu Proporsional, yaitu ketaatan dalam pembentukan dapil dengan mengutamakan jumlah kursi yang besar agar persentase jumlah kursi yang diperoleh setiap partai politik setara mungkin dengan persentase suara sah yang diperoleh; (3) Proporsionalitas, yaitu kesetaraan alokasi dengan memperhatikan kursi antar dapil agar tetap terjaga perimbangan alokasi kursi setiap dapil; (4) Integralitas Wilayah, yaitu memperhatikan beberapa Provinsi, beberapa Kabupaten/Kota, atau Kecamatan yang disusun menjadi satu dapil untuk daerah perbatasan, dengan tetap memperhatikan keutuhan dan keterpaduan wilayah, serta mempertimbangkan kondisi geografis, sarana perhubungan, dan aspek kemudahan transportasi; (5) Berada dalam Cakupan Wilayah yang Sama, yaitu penyusunan dapil anggota DPRD Provinsi yang terbentuk dari satu, beberapa, dan/atau bagian Kabupaten/Kota yang seluruhnya harus tercakup dalam suatu dapil anggota DPR; (6) Kohesivitas, yaitu penyusunan dapil memperhatikan sejarah, kondisi sosial budaya, adat istiadat, dan kelompok minoritas; dan (7) Kesinambungan, yaitu penyusunan dapil dengan memperhatikan dapil yang sudah ada pada Pemilu tahun sebelumnya, kecuali apabila alokasi kursi pada dapil tersebut melebihi batasan maksimal alokasi kursi setiap dapil atau apabila bertentangan dengan keenam prinsip di atas. Ada 3 (tiga) dimensi penting yang mendasari basis penentuan daerah pemilihan, yakni: (1) Homogenitas. Didefinisikan sebagai seberapa tinggi tingkat kesamaan pandangan kelompok masyarakat atau konstituen. Baik pandangan politik atau ideologi, tata cara dan praktik kehidupan sehari-hari yang berpengaruh terhadap respon bersama atas suatu isu; (2). Stabilitas. Tingkat kemapanan keanggotaan konstituen, dimana pilihannya terhadap partai atau kandidat tidak sering berubah dari satu perode pemilu ke periode pemilu yang lain. Model konstituensi di Amerika Serikat memiliki tingkat stabilitas yang lebih permanen, sedangkan model sistem proporsional biasanya cenderung berubah; dan (3) Voluntary. Permisif tidaknya pemilih atau basis konstituen terhadap masuk dan keluarnya partai-partai baru. Dengan kata lain, dari sisi pemilih, apakah pemilih memiliki keleluasaan untuk diwakili oleh partai-partai baru atau oleh partai-partai lama. Penyusunan Dapil dan Alokasi Kursi daerah pemilihan di Indonesia terjadi pada setiap periode pemilu legislatif berdasarkan undang-undang pemilu, yaitu setiap 5 tahun sekali. Di Indonesia, sejak pemilu berlangsung tahun 2004, isu Dapil mengemuka. Dapil sepenuhnya ditentukan oleh KPU. Pada Pemilu Tahun 2009 dan 2014 hanya Dapil DPRD Propinsi dan Kab/Kota serta Pemilu 2019 hanya Dapil DPRD Kab/Kota saja yang tidak disusun oleh KPU. Ketentuan jumlah Kursi Anggota DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan paling sedikit 20 kursi dan paling banyak 55 kursi, dan Alokasi kursi setiap Dapil Anggota DPRD Kabupaten/Kota paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 12 kursi. Kemudian Endun melanjutkan tentang mekanisme Penghitungan Alokasi Kursi, yaitu sebagai berikut: (1) Menentukan jumlah kursi DPRD kabupaten/kota mengacu berdasarkan jumlah penduduk [Pasal 191 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017]; (2) Menetapkan angka Bilangan Pembagi Penduduk (BPPd) dengan cara membagi jumlah penduduk dengan jumlah alokasi kursi; (3) Menentukan estimasi jumlah alokasi kursi per-kecamatan dengan cara membagi jumlah penduduk dengan BPPd (sebagai bahan pertimbangan pemetaan dapil); (4) Menggabungkan/memecah kecamatan menjadi Dapil dengan memperhatikan prinsip-prinsip pemetaan dapil sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU; (5) Menentukan alokasi kursi per-dapil dengan cara membagi jumlah penduduk di dapil tersebut dengan BPPd (apabila terdapat angka pecahan, maka angka pecahan dihilangkan); (6) Menghitung sisa penduduk dihitung dengan cara:  sisa penduduk = Total Jumlah penduduk  - (kursi teralokasi x BPPd); dan (7) Apabila pada penghitungan tahap pertama masih terdapat sisa kursi, maka sisa kursi dibagikan ke dapil dengan sisa penduduk tertinggi, tutup Endun. (Humas KPU Kabupaten Bandung)


Selengkapnya
51

KONSOLIDASI DEMOKRASI JELANG PEMILU DAN PEMILIHAN TAHUN 2024

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – KPU memiliki beberapa agenda kegiatan pasca penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan. Salah satu agenda tersebut adalah program sosialisasi dan pendidikan pemilih berkelanjutan yang dilaksanakan oleh seluruh KPU di Indonesia, tutur Rifqi Ali Mubarok, Ketua KPU Provinsi Jawa Barat, dalam sambutannya pada pembukaan acara webinar Kursus Demokrasi bertema Pemantapan Konsolidasi di Jawa Barat Jelang Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2024, Senin (12/7/2021). Acara ini terselenggara berkat kerja sama antara Second House dengan KPU Provinsi Jawa Barat. Lebih lanjut Rifqi menyampaikan bahwa program sosialisasi dan pendidikan pemilih berkelanjutan meliputi 2 (dua) aspek, yaitu: (1) teknis, seperti penyampaian informasi kepada masyarakat bagaimana mekanisme pendaftaran pemilih, bagaimana tata cara menggunakan hak pilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS), dan lain-lain; (2) substantif, seperti bagaimana menyampaikan informasi mengenai cara memilih calon yang berkualitas, dan lain-lain. Pendidikan demokrasi tidak hanya menjadi tugas KPU sebagai penyelenggara, melainkan juga menjadi tanggungjawab pemerintah, Partai Politik, dan para pemangku kepentingan. Kita tidak boleh terjebak dalam proses demokrasi prosedural semata, yang hanya menjadikan Pemilu/Pemilihan sebagai suatu rutinitas. Idham Holik, Anggota KPU Provinsi Jawa Barat, menjadi narasumber pada kesempatan ini. Konsolidasi Demokrasi dan Pemilu Berintegritas menjadi tema yang diangkat dalam pemaparan yang disampaikan. Demokrasi merupakan amanah konstitusi. Demokrasi bukan yang terbaik, tetapi demokrasi dapat mengakomodasi sistem politik dengan keberagaman seperti di Indonesia. Menolak demokrasi sama dengan menolak konstitusi. Sebelum resmi menjadi sebuah negara, demokrasi sudah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Demokrasi harus dimaknai sebagai the only game in town, maksudnya demokrasi harus dijadikan sumber nilai dalam berpolitik dan bersosial. Faktor destruktif pemantapan konsolidasi pada Pemilu/Pemilihan Serentak Tahun 2024 harus terbebas dari: 1) Politik pasca kebenaran (post-truth politics), seperti hoaks/berita bohong, disinformasi, misinformasi, dan lain-lain; 2) Politik identitas (identity politics), penggunaan wacana agama, etnisitas, dan kesukuan dalam kampanye yang membuat pemilih tidak tercerdaskan; 3) Politik permusuhan (adversarial politics) atau politik demagogi, menyebar permusuhan lewat ujaran kebencian (hate speech), kampanye hitam (black campaign), dan lain-lain; 4) Politik uang/klientelisme, vote buying (pembelian suara), candidacy buying, pelibatan aparatur pemerintahan dalam mempengaruhi pilihan politik pemilih; 5) Politik intimidasi, mengancam pemilih agar memilih kontestan elektoral tertentu; 6) Budaya politik tak setara, bias gender masih menjadi mindset politik politisi (khususnya fungsionaris partai dan kandidatnya) dan pemilih; 7) Pemilih illiterat, pemilih yang tidak memiliki pengetahuan demokrasi yang memadai termasuk dalam persoalan kepemiluan; dan 8) Media partisan, media massa yang menjadi “corong” kepentingan pragmatis politik tertentu yang melanggar undang-undang pers, kode etik jurnalistik dan penyiaran, terang Idham. Bagaimana demokrasi di Jawa Barat? Pertanyaan ini dilontarkan oleh Ine Purwadewi Sundari, Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, selaku narasumber. Ine memaparkan tantangan bagi pemantapan konsolidasi di Jawa Barat, diantaranya: 1) Penggunaan kekerasan oleh masyarakat dalam menyelesaikan masalah; 2) Masih adanya unjuk rasa/aksi demonstrasi berujung kekerasan; 3) Persentasi keterpilihan perempuan sebagai anggota legislatif yang belum memenuhi 30%; 4) Peraturan Daerah (Perda) inisiatif belum signifikan secara kuantitas; dan 5) Rekomendasi DPRD kepada eksekutif transparansi anggaran. Konsolidasi melalui demokrasi ini memiliki makna bagi keberlangsungan Pemilihan/Pemilu. Dampak positif dari penyelenggaraan Pemilihan/Pemilu yang aman dan lancar serta menghasilkan kepastian kepemimpinan dan pemerintahan daerah, adalah meningkatnya kepercayaan rakyat terhadap sistem  politik dan pemerintahan yang berlaku. Ine mengatakan bahwa Partai Politik perlu mempelajari sebaik-baiknya pesan yang disampaikan oleh  rakyat dalam Pemilihan Serentak yang lalu, yaitu menampilkan calon yang mempunyai integritas, kepemimpinan, program nyata serta menghindarkan diri dari cara-cara kampanye dalam memimpin yang mengeksploitasi dan mempertentangkan perbedaan latar belakang suku, agama maupun keturunan. Dalam penyelenggaraan Pemilihan/Pemilu, partai politik serta seluruh pemangku kepentingan perlu terus memperbaiki sistem dan pelaksanaan penyelenggaraannya, terutama regulasi dan pengawasan serta bekerja keras untuk melaksanakan proses      pergantian kepemimpinan  secara teratur, terbuka, dan demokratis untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan sejahtera. (Humas KPU Kabupaten Bandung)


Selengkapnya
39

PELAYANAN DISABILITAS BAGIAN INTEGRITAS ELEKTORAL

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Bahasa isyarat adalah bahasa yang mengutamakan komunikasi manual, bahasa tubuh, dan gerak bibir, bukan suara untuk berkomunikasi. Orang tuna rungu adalah kelompok utama yang menggunakan bahasa ini, biasanya dengan mengkombinasikan bentuk tangan, orientasi dan gerakan tangan, lengan, dan tubuh serta ekspresi wajah untuk mengungkapkan pikiran mereka. Hal ini disampaikan oleh Santi Eka Permana sebagai Ketua Bahasa Isyarat Indonedia (Bisindo) Sukabumi dalam kegiatan Pelatihan Bahasa Isyarat yang diselenggarakan KPU Kota Sukabumi secara daring, Rabu (7 Juli 2021). Di Indonesia terdapat dua jenis bahasa isyarat yang digunakan oleh teman-teman tuna rungu dan tuna wicara, yaitu Bisindo dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). Perbedaanya, SIBI merupakan bahasa isyarat yang diadopsi dari American Sign Language (ASL). Bahasa isyarat yang satu ini juga biasa dipakai di Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk berkomunikasi antara guru dan siswa maupun antar siswa. Sedangkan Bisindo adalah bahasa yang biasa dipakai oleh teman tuna rungu dan tuna wicara sejak kecil. Boleh dibilang bahwa Bisindo ini adalah bahasa alami yang mudah dicerna oleh sesama tuna rungu atau ketika dipakai berkomunikasi. Ketua KPU Kota Sukabumi, Sri Utami, menyampaikan secara teknis kita sebagai penyelenggara Pemilu dan Pemilihan masih belum memiliki potensi/kemampuan dasar mengenai bahasa isyarat, jadi masih minim sekali. Kendala inilah yang menjadikan kami melaksanakan pelatihan ini, diharapkan acara ini bisa menjadi bekal kemampuan, keterampilan teknis secara dasar agar bisa berkomunikasi, bisa berinteraksi dengan kaum disabilitas khususnya kaum disabilitas tuna rungu. Kedepannya semoga bekal dari kegiatan ini bisa meningkatkan partisipasi pemilih, serta menjalin harmonisasi yang baik dengan kaum disabilitas dan tingkat partisipasi disabilitas bisa meningkat. Terdapat 4 (empat) hak tuna rungu yang paling dasar, diantaranya: (1) Bahasa isyarat (Bisindo); (2) Pendidikan bilingual (bahasa isyarat, bahasa tulisan, gambar, atau lisan); (3) Aksesbilitas; dan (4) Juru Bahasa Isyarat (JBI) atau penerjemah, terang Khalil, Ketua Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin). Manfaat dari bahasa isyarat sendiri yaitu kita bisa berkomunikasi dengan orang tuna rungu, lalu bisa menjadi penerjemah bahasa isyarat, kemudian kita bisa membantu orang tuna rungu terkait pelayanan umum, serta kita bisa menjadi pengajar anak tuna rungu di sekolah. Anggota KPU Provinsi Jawa Barat, Idham Holik, turut bergabung dalam kegiatan ini dan menyampaikan bahwa acara ini sebagai bahan refleksi kita, sudah sejauh mana kita melayani kaum disabilitas dalam tahapan penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan. Tentunya kualitas kita akan mempengaruhi partisipasi pemilih disabilitas, diharapkan kedepannya kaum disabilitas tidak hanya berperan dari sisi pemberian suara saja, tetapi sebagai peserta maupun pemilih yang terlibat diberbagai tahapan, karena hak-hak politik disabilitas sudah terjamin salah satunya dengan pendidikan pemilih. Mudah-mudahan kegiatan ini dapat menstimulasi bagaimana pelayanan penyelenggara kepada penyandang disabilitas, dalam konteks sosialisasi dan pendidikan pemilih dapat dikatakan aksesibel, karena kemampuan bahasa isyarat kita. Kemudian dengan adanya dua jenis bahasa isyarat, semoga keduanya dapat diimplementasikan dengan baik khususnya kepada penyandang disabilitas tuna rungu, ini menjadi bagian dari integritas elektoral. Integritas elektroral tidak hanya untuk penyelenggara, tetapi semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung, serta seluruh stakeholders Pemilu/Pemilihan. (Humas KPU Kabupaten Bandung).  


Selengkapnya
603

KRITIK PLATO TERHADAP DEMOKRASI

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Webinar dengan mengangkat tema Kritik Plato atas Demokrasi dan Tantangan Pendidikan Pemilih diselenggarakan atas kolaborasi KPU Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya pada Rabu (7 Juli 2021). Plato sebenarnya sebagai juru tulis dari apa yang dikatakan atau apa yang disampaikan oleh gurunya yang bernama Socrates. Plato merupakan murid terbaik dan paling loyal. Kita tidak akan mengenal pemikiran Socrates jika kita tidak mengakui Plato. Socrates adalah filsuf pertama dalam pemikiran barat dan sebagai gurunya Plato. Socrates tidak pernah meninggalkan karya tulis. Socrates mempunyai konsep tentang pemerintahan ideal, walaupun banyak dikritik oleh para pemikir demokrasi liberal. Socrates menyampaikan tentang pemimpin ideal. Hal ini dijelaskan oleh Anggota KPU Provinsi Jawa Barat, Dr. Idham Holik, M.Si., selaku keynote speech. Bagaimana idealnya demokrasi di Indonesia, yang tidak lepas dari kritik karena demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Kuncinya adalah bagaimana para politisi dan para pemimpin betul-betul dapat mengamalkan prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila. Jika Pancasila bisa diamalkan dengan baik, maka demokrasi kita pasti akan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh bangsa, dimana keadilan sosial bisa terwujud, dan begitu juga dalam praktik pemilunya. Kuncinya adalah pendidikan pemilih, apa sebetulnya pendidikan pemilih itu tujuannya yaitu mendorong partisipasi pemilih yang berpengetahuan, karena tujuan dari pendidikan pemilh adalah memberdayakan pemilih, inilah nanti yang menentukan kualitas demokrasi kita, lanjut Idham. Dr. Neng Hannah, M.Ag., Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Gunung Djati Bandung, bertindak selaku narasumber menyampaikan bahwa pengaruh Plato begitu besar dalam filsafat, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa sejarah filsafat bisa didsimpulkan sebagai rangkaian kaki atas Plato. Berdasarkan filsafat ini, ada dua tantangan besar dalam pendidikan politik kita dimasa sekarang ini, yaitu mengkritisi budaya teknologi dan mengkritisi budaya demokrasi. Melalui teknologi manusia diberikan kemampuan secara cepat dan tak terbatas, ini akan memungkinkan ketidakseimbangan. Kemudian Plato menyampaikan kritik, mencakup: (1) Kebebasan yang kebablasan. Plato mengkritik kebebasan pada rezim demokratis, artinya tiap orang bebas berpendapat, tiap orang bebas menjalaninya sendiri;( 2) Anarkisme di jalan, ketiadaan prinsip hukum, tidak ada regulasi yang disepakati bersama; (3) Toleransi membiarkan, menjadi maklum dan penuh pembiaran. Menurut Plato demokratis mentoleransi apapun karena tidak adanya tatanan;  (4) Kekacauan moral, kebenaran relatif, tidak ada kebenaran yang universal. Ade Zaenul Mutaqin, Ketua KPU Tasikmalaya, turut menyampaikan paparannya. Inti dari kritik Plato terhadap demokrasi yaitu adanya kebebasan yang kebablasan, semua orang bisa bicara, semua orang bisa berpendapat, semua orang bisa berkehendak. Keinginan yang berlebihan untuk melakukan kebebasan adalah apa yang bisa merusak demokrasi. Plato mengklaim bahwa demokrasi itu: (1) Sesuatu yang berbahaya kerena adanya kebebasan yang kebablasan; (2) Demokrasi adalah timbulnya anarki, tidak adanya kesatuan di dalam masyarakat itu sendiri; (3) Demokrasi berisiko bisa membawa kepada kediktatoran dan tirani; (4) Keahlian merupakan hal yang penting dimiliki seorang pemimpin; dan (5) Demokrasi tidak mengutamakan kearifan dalam pencarian pengetahuan yang melekat. Intinya Plato berpendapat dari masyarakat yang mayoritas ini riskan dimanfaatkan oleh pialang-pialang politik, yang memanfaatkan suara rakyat kemudian bisa dimanipulasi. Kenapa harus dilakukan pendidikan demokrasi? Karena demokrasi bukanlah mesin yang bisa berjalan sendiri, tetapi harus direproduksi dari generasi ke generasi sehingga harus ada upaya yaitu yang dinamakan pendidikan pemilih. Tantangan dari pendidikan pemilih dikategorikan menjadi: (1) Content. Sistem pemilu yang sangat kompleks & regulasi yang sering banyak perubahan; (2) Strategy. Belum terstandarnya model pendidikan  pemilih yang efektif dan efisien; (3) Evaluation. Belum ada alat ukur dan teknik evaluasi untuk menilai keberhasilan pendidikan pemilih; (4) Media, perkembangan teknologi informasi dan media digital yang yang sangat cepat; (5) Ideologies. Munculnya ideologi-ideologi yang menentang demokrasi. 6) Politics. Situasi dan kondisi politik yang tidak stabil; (7) Cultur. Lunturnya nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan sehari-hari, rendahnya kesadaran hukum, ketidaksetaraan gender, dan lain-lain; dan (8) Literacy. Literasi politik dan demokrasi yang rendah, sementara informasi dan ilmu pengetahuan berlimpah, tutur Ade menutup penjelasannya. (Humas KPU Kabupaten Bandung)  


Selengkapnya
38

RAPAT KOORDINASI DAFTAR PEMILIH BERKELANJUTAN TRIWULAN II

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Kamis (1/7/2021), Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bandung menyelenggarakan Rapat Koordinasi Daftar Pemilih Berkelanjutan Periode Triwulan II Tahun 2021 secara daring yang dihadiri oleh Bawaslu Kabupaten Bandung, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcasip) Kabupaten Bandung dan Partai Politik se-Kabupaten Bandung. Rapat koordinasi ini diikuti pula oleh Anggota KPU Kabupaten Bandung, Sekretaris KPU Kabupaten Bandung dan Staf Sekretariat KPU Kabupaten Bandung. Dibuka secara resmi oleh Agus Baroya, Ketua KPU Kabupaten Bandung, yang menyampaikan bahwa KPU memiliki kewenangan dan tugas konstitusional untuk melakukan pemutakhiran data berkelanjutan dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) terakhir. Yang kita pakai adalah DPT Pemilihan Tahun 2020. Sesuai dengan surat dari KPU RI Nomor 366/PL.02-SD/01/KPU/IV/2021  yang merupakan perubahan dari surat Nomor 132/PL.02-SD/01/KPU/II/2021 terkait dengan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan Tahun 2021, maka mekanisme yang dilakukan adalah pada tiap bulan KPU akan melakukan rapat terkait hasil pemutakhiran data pemilih. Pada bulan pertama setelah DPT terakhir itu di luar bulan-bulan triwulan, KPU secara internal akan membuat Berita Acara (BA) hasil pemutakhiran data pemilih berkelanjutan, kemudian pada bulan-bulan triwulan misanyal Juni, Oktober dan Desember, KPU akan mengundang pihak terkait untuk mengadakan rapat koordinasi. Tujuannya, KPU mengajak Bawaslu dan Partai Politik untuk ikut bersama-sama memiliki atensi terkait dengan dinamisasi pemilih, artinya KPU berharap ada komunikasi, koordinasi dan sinergi bersama dengan Bawaslu dan Partai Politik. Bagaimana kita bersama-sama memutakhirkan, mengupdate data pemilih, sehingga ketika sampai pada waktunya DPT ini bertemu dengan Pemilihan atau Tahapan Pemilu, walaupun sumber utamanya adalah Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4). Kita berharap bahwa semua pihak tidak akan kaget, kerena kita sudah memiliki bahan yang relatif bersih (clear) sehingga ketika nanti ada DP4 sekalipun, kita dapat merespon dan mengelola DP4 yang nantinya akan disampaikan. Kami berharap rapat koordinasi kali ini walaupun dilakukan secara daring, tidak mengurangi kualitas dan hasilnya sesuai yang kita harapkan. Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan ini memberikan kita posisi atau status terakhir data pemilih kita, terang Agus. Rapat koordinasi kemudian dipandu oleh Isun Sukmantara, selaku Anggota KPU Kabupaten Bandung Divisi Program dan Data. Perlu kami disampaikan bahwa pada Pemutakhiran Data Berkelanjutan yang dilakukan pada bulan Mei 2021 telah selesai penginputan softcopy formulir Daftar Pemilih Tambahan dengan jumlah sekitar 13.958 Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), dan yang dapat ditemukan untuk sementara sebanyak 12.255 data, itu mungkin disebabkan karena penulisan yang dilakukan oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Tempat Pemungutan Suara (TPS), maka dilaksanakan sinkronisasi elemen data dengan Disdukcasip. Disdukcasip merespon dengan baik dan dapat membantu dalam hal ini untuk melengkapi beberapa elemen data yang kurang lengkap sehingga terisi formatnya, diantaranya kolom elemen data seperti Nomor Kartu Keluarga (NKK), Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nama, Alamat, dll. Hasil rapat kordinasi dituangkan melalui Berita Acara Komisi Pemilihan Umum Nomor: 96/PL.02.1-BA/3204/Kab/VII/2021 tanggal 1 Juli tentang Rapat Kordinasi Daftar Pemilih Berkelanjutan Tahun 2021 Periode Triwulan II, dengan Data jumlah Pemilih yaitu Pemilih Laki-laki sebanyak 1.193.588, Pemilih Perempuan sebanyak 1.170.821 dan total jumlah Pemilih sebesar 2.364.409, yang tersebar di 280 desa/kelurahan dan 31 kecamatan se-Kabupaten Bandung. (Humas KPU Kabupaten Bandung)  


Selengkapnya
49

STRATEGI PENINGKATAN LITERASI KEPEMILUAN

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Strategi Peningkatan Literasi Kepemiluan menjadi tema yang diangkat pada diskusi melalui webinar Ngopi D’lu (Ngobrol Pintar Demokrasi dan Kepemiluan) yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten Bandung, Rabu (30/06/2021). Agus Baroya, Ketua KPU Kabupaten Bandung, dalam sambutannya menyampaikan bahwa KPU menjadi bagian dari dunia perpolitikan, maka KPU juga peduli terkait dengan bagaimana meningkatkan kecerdasan dan pemahaman publik dalam bidang kepemiluan. Ini penting dalam rangka membangun politiik yang beradab dan demokrasi yang sehat, sehingga diperlukan pemahaman yang kuat, salah satu daya dukungnya adalah parameter literasi publik terhadap perkembangan kepemiluan di Indonesia. Mengapa literasi ini penting? Jika kita sebut membaca adalah jendela dunia, maka perlu kita perluas bahwa membaca dan literasi ini dengan literasi digital.  Untuk itu tentu dibutuhkan kearifan, kebijakan, kemampuan kita untuk memilah dan memilih mana literasi yang konstruktif yang bisa membangun pemahaman yang positif. Saya berharap dengan diangkatnya tema ini bisa betul-betul memberikan kesadaran untuk sadar literasi, bisa meningkatkan kecintaan kita pada literasi sehingga nanti akan menular secara massal menjadi hobi yang membudaya, sehingga interaksi kita berbasis data, berbasis literasi yang kuat. Dengan demikian kompetisi persaingan sekalipun senantiasa dibangun dengan mudah, terang Agus. Irma Novita, Kepala Bidang Penyelenggara Informasi dan Komunikasi Publik Diskominfo Kabupaten Bandung, selaku narasumber menerangkan perihal diseminasi melalui media publik. Diseminasi bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada kelompok-kelompok atau target tertentu agar mereka memperoleh informasi, tetapi tidak sekedar memperoleh, melainkuan juga memahami dan akhirnya menerima serta merubah perilaku sesuai dengan yang diinginkan oleh pemberi informasi. Tujuan dari diseminasi informasi itu adanya ketertarikan secara umum. Disaat kita ingin berbicara tentang Pemilu, diharapkan audiens yang kita beri informasi itu juga memiliki ketertarikan yang sama, yakni ingin berbicara tentang Pemilu, itu yang ingin kita capai dari diseminasi informasi. Diskominfo melakukan diseminasi informasi dengan strategi-strategi yang disesuaikan. Strategi diseminasi informasi mencakup: (1) memahami target pendengar (analisis khalayak); (2) menentukan media; (3) menentukan dan memahami tujuan; (4) memotivasi pendengar untuk memberi tanggapan atau kritik dan saran; (5) memperhitungakan frekuensi penyampaian pesan; serta (6) mengidentifikasi pesan utama atau kunci yang akan disampaikan. Ketika KPU menyampaikan informasi, mungkin saja tujuannya berbeda. Tujuan-tujuan itu juga berpengaruh terhadap cara menyampaikan informasinya. Pesan yang sampai saja tidak cukup, perlu evaluasi sejauh mana audiens memahami dengan baik pesan dan menganalisa apakah semua strategi sesuai dengan persoalan yang dihadapi. Mildan Abdalloh, Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Bandung, turut menjadi narasumber pada kesempatan kali ini. Disampaikan bahwa literasi politik adalah salah satu syarat penyelenggaraanPemiluyangberkualitas. SyaratPemilu berkualitas meliputi partisipasi masyarakat, penyelenggaraan adil dalam aturan main, penyebaran informasi kepemiluan, menghasilkan pemimpin ideal, tanpa adanya politik transaksional, hoaks, dan politik identitas. Perkembangan media melalui media sosial pada masa sekarang ini menjadi salah satu bentuk perkembangan literasi, dan kita harus bisa memanfaatkannya dengan baik guna mewujudkan Pemilu/Pemilihan yang berkualitas. (Humas KPU Kabupaten Bandung)  


Selengkapnya