Selamat Datang di Website Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bandung | Pastikan Nama Anda Tercantum di DPT ! Akses http://cekdptonline.kpu.go.id

Headline

#Trending

Informasi

Opini

PENGGANTIAN ANTARWAKTU, LANGKAH DEMOKRATIS UNTUK MENGISI KEKOSONGAN WAKIL RAKYAT

Oleh: Griebaldi Kadiv. Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Bandung   Dalam sistem demokrasi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki peran penting sebagai wakil rakyat di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Setiap Anggota DPRD dipilih melalui Pemilihan Umum untuk menjalankan amanah selama lima tahun masa jabatan. Namun dalam perjalanannya tidak jarang terjadi kekosongan keanggotaan karena berbagai sebab. Untuk menjaga keberlangsungan fungsi lembaga perwakilan rakyat tersebut, dilakukan mekanisme Penggantian Antarwaktu (PAW). Penggantian Antarwaktu (PAW) merupakan salah satu sarana pengisian jabatan diluar proses pemilihan secara periodik. Mekanisme ini merupakan alat kontrol partai politik terhadap anggotanya yang menjabat dalam parlemen. Mekanisme penggantian anggota DPRD yang berhenti atau diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Tujuannya untuk memastikan kesinambungan fungsi kelembagaan DPRD. Mekanisme PAW tidak hanya untuk mengisi kekosongan kursi DPRD tetapi juga untuk menjamin keberlanjutan fungsi representasi rakyat, menjaga keseimbangan politik di parlemen daerah dan memastikan seluruh daerah pemilihan tetap memiliki wakil yang sah. Dengan adanya mekanisme PAW, DPRD dapat tetap menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan tanpa hambatan. Proses PAW merupakan bagian penting dari sistem demokrasi yang menjamin bahwa suara rakyat tetap terwakili hingga akhir masa jabatan lembaga perwakilan. Sebagai lembaga penyelenggara Pemilu, KPU Kabupaten Bandung memiliki peran penting dalam proses Penggantian Antarwaktu (PAW) Anggota DPRD Kabupaten Bandung. Terdapatnya Anggota DPRD Kabupaten Bandung dari Fraksi PKB yang meninggal dunia membuat KPU Kabupaten Bandung harus melaksanakan proses PAW sesuai dengan mekanisme yang tercantum dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penggantian Antarwaktu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. KPU Kabupaten Bandung telah menyelesaikan seluruh proses tahapan proses PAW sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan selesainya proses PAW ini menandai berlanjutnya kinerja DPRD Kabupaten Bandung secara utuh. KPU Kabupaten Bandung terus menunjukkan komitmennya dalam menjaga keberlanjutan demokrasi dan integritas hasil Pemilu di tingkat Kabupaten Bandung. Proses PAW bukan sekedar adminiatrasi politik, melainkan bentuk nyata tanggungjawab KPU dalam memastikan suara rakyat tetap terwakili hingga akhir masa jabatan DPRD Kabupaten Bandung.    

MEMBANGUN KEPASTIAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN ADMINISTRASI PEMILU

  Oleh: Yohanes Paulus Indartono Kadiv. Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Bandung     Sebagai narasumber dalam kegiatan Sharing dan Edukasi Regulasi Kepemiluan (SERUU) di KPU Kabupaten Bandung yang bertajuk “Pola Penanganan dan Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilu dan Pemilihan”, saya memandang bahwa isu penyelesaian pelanggaran administrasi merupakan salah satu aspek krusial dalam menjaga integritas demokrasi elektoral di Indonesia. Pelanggaran administrasi sering kali menjadi pintu awal bagi munculnya ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu, karena berhubungan langsung dengan proses dan tata kelola pemilihan yang seharusnya transparan, akuntabel, dan berkeadilan.   Berlandaskan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2024, mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi harus menegakkan asas-asas Pemilu yang meliputi langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). Selain itu, prinsip-prinsip pelaksanaan seperti kemandirian, profesionalitas, serta kepastian hukum menjadi fondasi penting agar keputusan yang dihasilkan memiliki legitimasi dan dapat ditegakkan secara efektif.   Perubahan signifikan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 104/PUU-XXIII/2025, yang menegaskan bahwa istilah “rekomendasi” Bawaslu tidak lagi sekadar bersifat anjuran, melainkan harus dimaknai sebagai “putusan”, merupakan langkah maju dalam memperkuat kepastian hukum. Sebab, selama ini perbedaan tafsir antara rekomendasi dan putusan menimbulkan kerancuan dalam tindak lanjut di lapangan. Dengan adanya putusan MK tersebut, lembaga pengawas memiliki dasar hukum yang lebih kuat untuk memastikan pelanggaran administrasi ditangani secara tuntas dan tidak berhenti pada level rekomendasi semata.   Dalam konteks lokal, seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung pada Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024, beberapa kasus pelanggaran administrasi memperlihatkan dinamika yang kompleks, mulai dari dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara, praktik money politics, hingga sengketa hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi dan PT TUN. Fenomena ini memperlihatkan bahwa sistem penegakan hukum pemilu masih membutuhkan sinkronisasi antarlembaga, baik antara KPU, Bawaslu, DKPP, maupun lembaga peradilan.   Dari perspektif akademik, upaya memperkuat penanganan pelanggaran administrasi tidak semata-mata berorientasi pada aspek penindakan, tetapi juga harus diimbangi dengan perbaikan regulasi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia penyelenggara. Pelatihan etik, literasi hukum elektoral, serta penguatan sistem dokumentasi dan pelaporan menjadi hal yang mutlak dilakukan agar asas keterbukaan dan akuntabilitas benar-benar terwujud.   Pada akhirnya, penyelesaian pelanggaran administrasi bukan sekadar urusan teknis kelembagaan, tetapi merupakan refleksi dari sejauh mana sistem demokrasi kita menghormati prinsip keadilan dan kepastian hukum. Setiap langkah kecil dalam memperbaiki mekanisme penyelesaian pelanggaran adalah investasi besar bagi terwujudnya pemilu yang berintegritas dan dipercaya oleh rakyat.  

KOORDINASI SUPERVISI DAN ASISTENSI PADA PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM

Oleh : Enda Kurniawan Sekretaris KPU Kabupaten Bandung   Dalam setiap kegiatan koordinasi dan supervisi penyelenggaraan kepemiluan, saya selalu menekankan satu hal mendasar yakni, pentingnya keseragaman pemahaman di antara seluruh pegawai KPU mengenai istilah dan konsep yang kita gunakan sehari-hari. Salah satu hal yang kerap disalah artikan, bahkan oleh sebagian penyelenggara sendiri, adalah mengenai perbedaan antara Pemilu dan Pemilihan.   Keduanya sering kali disebut secara bergantian seolah bermakna sama, padahal secara bahasa hukum baik Undang-Undang dan Peraturan KPU serta teknis, Pemilu dan Pemilihan memiliki makna yang berbeda. Pemilu atau Pemilihan Umum adalah proses untuk memilih wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota) serta Presiden dan Wakil Presiden. Sementara itu, Pemilihan adalah ajang untuk memilih kepala daerah, yakni Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.   Perbedaan ini bukan hanya soal istilah administratif, melainkan juga menyangkut rezim hukum, tahapan, hingga struktur penyelenggara yang mengaturnya. Pemilu diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, sedangkan Pemilihan Kepala Daerah diatur dalam kerangka regulasi tersendiri yang menegaskan aspek lokal dan desentralistik penyelenggaraannya. Karena itu, seluruh pegawai KPU, baik di tingkat sekretariat, teknis, maupun badan adhoc wajib memiliki persepsi yang sama agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pemahaman dan pelaksanaan tugas.   Selain pemahaman konseptual, hal lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah tanggung jawab kelembagaan, khususnya peran Sekretariat PPK dan PPS. Berdasarkan ketentuan dalam PKPU Nomor 8 Tahun 2022 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Adhoc, disebutkan bahwa Sekretariat PPK dan PPS memiliki kewajiban untuk melakukan evaluasi, menyusun laporan pelaksanaan tahapan, serta menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan kepada KPU Kabupaten/Kota.   Lebih jauh lagi, Sekretaris PPK dan PPS bertanggung jawab secara administrasi kepada Sekretaris KPU Kabupaten/Kota. Artinya, hubungan kerja antara sekretariat di tingkat kecamatan dan desa tidak hanya bersifat fungsional terhadap PPK atau PPS, tetapi juga administratif dan hierarkis terhadap Sekretaris KPU. Mekanisme ini penting untuk memastikan bahwa setiap kegiatan dan penggunaan anggaran di tingkat bawah tetap dalam koridor akuntabilitas kelembagaan.   Dalam praktiknya, pelaporan kinerja dan evaluasi tahapan tidak boleh hanya menjadi formalitas. Setiap laporan harus disusun secara objektif, terukur, dan mencerminkan hasil kerja nyata di lapangan. Sekretariat PPK dan PPS memiliki peran vital sebagai simpul koordinasi administratif yang menjembatani antara pelaksana teknis di lapangan dan struktur kelembagaan di tingkat kabupaten.   Sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU memiliki tanggung jawab moral dan institusional untuk memastikan seluruh unsur penyelenggara bekerja dalam kerangka integritas, profesionalitas, dan keseragaman arah kerja. Kesalahan dalam memahami istilah atau alur tanggung jawab sekecil apa pun dapat berimplikasi pada ketidak teraturan pelaksanaan di lapangan.   Oleh karena itu, saya meyakini bahwa penyelenggaraan kegiatan seperti Knowledge Sharing bukan hanya forum berbagi pengalaman, tetapi juga sarana untuk memperkuat kesamaan persepsi dan memperteguh komitmen kita dalam menjalankan amanah sebagai penyelenggara pemilu. Dengan pemahaman yang sama dan pelaksanaan tanggung jawab yang tertib, kita akan mampu menghadirkan proses pemilu dan pemilihan yang tidak hanya sukses secara teknis, tetapi juga berintegritas dan dipercaya oleh publik.

MEWUJUDKAN DAFTAR PEMILIH YANG AKURAT, KUNCI SUKSES PEMILU BERINTEGRITAS

Oleh : Ahmad Rosadi (Kadiv Perencanaan , Data dan Informasi KPU Kabupaten Bandung) Pemutakhiran Data Pemilih adalah kegiatan untuk memperbaharui data pemilih melalui pencocokan dan penelitian terhadap daftar pemilih yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat Kabupaten/Kota. Kegiatan ini dilakukan dengan mencocokkan data penduduk dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil serta verifikasi secara langsung melalui metode pencocokan dan penelitian (COKLIT) yang dilaksanakan oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih). Penyusunan dan pemutakhiran daftar pemilih merupakan jantung dari setiap penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Ketepatan dan keakuratan daftar pemilih menentukan legitimasi hasil pemilu itu sendiri. Dalam konteks Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024, tantangan utama yang dihadapi bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh aspek kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Sebagai penyelenggara di tingkat kabupaten, saya memandang bahwa mekanisme penyusunan daftar pemilih sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 7 Tahun 2024 serta berbagai keputusan teknis KPU, telah menunjukkan upaya serius untuk menjamin transparansi dan akurasi data. Integrasi berbagai sistem seperti Sistem Informasi Data Pemilih (SIDALIH), Sistem Kendali Pemutakhiran Data Pemilih (SIKENDIH), Sistem Pemetaan TPS (SIPETA), hingga aplikasi e-Coklit, memperlihatkan bagaimana teknologi informasi dioptimalkan untuk meminimalkan potensi kesalahan dan data ganda. Namun demikian, realitas di lapangan masih menunjukkan adanya kendala dalam proses pemutakhiran data pemilih. Kesadaran masyarakat untuk memastikan dirinya terdaftar sering kali masih rendah. Di sinilah peran Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) menjadi sangat strategis, bukan hanya sebagai pelaksana teknis, tetapi juga sebagai komunikator publik yang harus mampu membangun partisipasi dan kepercayaan masyarakat. Dari perspektif normatif, berbagai dasar hukum seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, menegaskan bahwa penyusunan daftar pemilih tidak boleh hanya dilihat sebagai proses administratif, tetapi juga sebagai wujud perlindungan hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, setiap tahapan mulai dari penerimaan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) hingga penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) harus dijalankan secara akuntabel, transparan, dan dapat diaudit. Ke depan, KPU perlu terus memperkuat sinergi dengan pemerintah daerah dan instansi kependudukan agar sinkronisasi data berjalan lebih efisien. Pendekatan partisipatif juga perlu diperluas, misalnya dengan melibatkan lembaga pendidikan dan komunitas warga dalam sosialisasi pentingnya melakukan cek data pemilih secara mandiri, baik secara online melalui laman website https://cekdptonline.kpu.go.id/ atau mendatangi langsung ke Kantor KPU Kabupaten/Kota diwilayah domisilinya masing-masing. Selain itu, saya mengajak seluruh masyarakat untuk tidak hanya mengurus data administrasi kependudukan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) ketika berpindah alamat, tetapi juga segera mengurus pindah memilih di Kantor KPU Kabupaten Bandung. Langkah sederhana ini sangat penting agar hak pilih tetap terjamin di tempat domisili yang baru. Dengan memastikan data kependudukan dan data pemilih sama-sama mutakhir, kita turut menjaga agar setiap warga dapat menyalurkan suaranya tanpa kendala administratif pada saat pemungutan suara. Sebagai penutup, saya meyakini bahwa daftar pemilih yang berkualitas adalah fondasi utama dari pemilu yang berintegritas. Tantangan memang ada, tetapi dengan komitmen, kolaborasi, dan inovasi, kita dapat memastikan bahwa setiap suara benar-benar terhitung dan tidak ada hak pilih yang terabaikan. Karena pada akhirnya, pemilu yang baik dimulai dari daftar pemilih yang benar.

Publikasi