KRITIK PLATO TERHADAP DEMOKRASI

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Webinar dengan mengangkat tema Kritik Plato atas Demokrasi dan Tantangan Pendidikan Pemilih diselenggarakan atas kolaborasi KPU Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya pada Rabu (7 Juli 2021). Plato sebenarnya sebagai juru tulis dari apa yang dikatakan atau apa yang disampaikan oleh gurunya yang bernama Socrates. Plato merupakan murid terbaik dan paling loyal. Kita tidak akan mengenal pemikiran Socrates jika kita tidak mengakui Plato. Socrates adalah filsuf pertama dalam pemikiran barat dan sebagai gurunya Plato. Socrates tidak pernah meninggalkan karya tulis. Socrates mempunyai konsep tentang pemerintahan ideal, walaupun banyak dikritik oleh para pemikir demokrasi liberal. Socrates menyampaikan tentang pemimpin ideal. Hal ini dijelaskan oleh Anggota KPU Provinsi Jawa Barat, Dr. Idham Holik, M.Si., selaku keynote speech.

Bagaimana idealnya demokrasi di Indonesia, yang tidak lepas dari kritik karena demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Kuncinya adalah bagaimana para politisi dan para pemimpin betul-betul dapat mengamalkan prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila. Jika Pancasila bisa diamalkan dengan baik, maka demokrasi kita pasti akan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh bangsa, dimana keadilan sosial bisa terwujud, dan begitu juga dalam praktik pemilunya. Kuncinya adalah pendidikan pemilih, apa sebetulnya pendidikan pemilih itu tujuannya yaitu mendorong partisipasi pemilih yang berpengetahuan, karena tujuan dari pendidikan pemilh adalah memberdayakan pemilih, inilah nanti yang menentukan kualitas demokrasi kita, lanjut Idham.

Dr. Neng Hannah, M.Ag., Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Gunung Djati Bandung, bertindak selaku narasumber menyampaikan bahwa pengaruh Plato begitu besar dalam filsafat, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa sejarah filsafat bisa didsimpulkan sebagai rangkaian kaki atas Plato. Berdasarkan filsafat ini, ada dua tantangan besar dalam pendidikan politik kita dimasa sekarang ini, yaitu mengkritisi budaya teknologi dan mengkritisi budaya demokrasi. Melalui teknologi manusia diberikan kemampuan secara cepat dan tak terbatas, ini akan memungkinkan ketidakseimbangan. Kemudian Plato menyampaikan kritik, mencakup: (1) Kebebasan yang kebablasan. Plato mengkritik kebebasan pada rezim demokratis, artinya tiap orang bebas berpendapat, tiap orang bebas menjalaninya sendiri;( 2) Anarkisme di jalan, ketiadaan prinsip hukum, tidak ada regulasi yang disepakati bersama; (3) Toleransi membiarkan, menjadi maklum dan penuh pembiaran. Menurut Plato demokratis mentoleransi apapun karena tidak adanya tatanan;  (4) Kekacauan moral, kebenaran relatif, tidak ada kebenaran yang universal.

Ade Zaenul Mutaqin, Ketua KPU Tasikmalaya, turut menyampaikan paparannya. Inti dari kritik Plato terhadap demokrasi yaitu adanya kebebasan yang kebablasan, semua orang bisa bicara, semua orang bisa berpendapat, semua orang bisa berkehendak. Keinginan yang berlebihan untuk melakukan kebebasan adalah apa yang bisa merusak demokrasi. Plato mengklaim bahwa demokrasi itu: (1) Sesuatu yang berbahaya kerena adanya kebebasan yang kebablasan; (2) Demokrasi adalah timbulnya anarki, tidak adanya kesatuan di dalam masyarakat itu sendiri; (3) Demokrasi berisiko bisa membawa kepada kediktatoran dan tirani; (4) Keahlian merupakan hal yang penting dimiliki seorang pemimpin; dan (5) Demokrasi tidak mengutamakan kearifan dalam pencarian pengetahuan yang melekat. Intinya Plato berpendapat dari masyarakat yang mayoritas ini riskan dimanfaatkan oleh pialang-pialang politik, yang memanfaatkan suara rakyat kemudian bisa dimanipulasi.

Kenapa harus dilakukan pendidikan demokrasi? Karena demokrasi bukanlah mesin yang bisa berjalan sendiri, tetapi harus direproduksi dari generasi ke generasi sehingga harus ada upaya yaitu yang dinamakan pendidikan pemilih. Tantangan dari pendidikan pemilih dikategorikan menjadi: (1) ContentSistem pemilu yang sangat kompleks & regulasi yang sering banyak perubahan; (2) Strategy. Belum terstandarnya model pendidikan  pemilih yang efektif dan efisien; (3) Evaluation. Belum ada alat ukur dan teknik evaluasi untuk menilai keberhasilan pendidikan pemilih; (4) Media, perkembangan teknologi informasi dan media digital yang yang sangat cepat; (5) Ideologies. Munculnya ideologi-ideologi yang menentang demokrasi. 6) Politics. Situasi dan kondisi politik yang tidak stabil; (7) Cultur. Lunturnya nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan sehari-hari, rendahnya kesadaran hukum, ketidaksetaraan gender, dan lain-lain; dan (8) Literacy. Literasi politik dan demokrasi yang rendah, sementara informasi dan ilmu pengetahuan berlimpah, tutur Ade menutup penjelasannya. (Humas KPU Kabupaten Bandung)

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 603 Kali.