Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Problematika Masa Jabatan Kepala Daerah dan Pemilihan Serentak 2024 menjadi tema yang diangkat pada webinar berseri yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), pada hari Jumat, 21 Januari 2022. Webinar kali ini menghadirkan Dosen Hukum Tata Negara (HTN) dan Dewan Pakar PSHK FH UII, Jamaludin Ghafur, Pendiri Netgrit dan Anggota Dewan Nasional Konvensi Rakyat, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, serta Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, yang akan bertindak sebagai narasumber. Seperti diketahui bersama, terdapat sekitar 271 Kepala Daerah yang akan berakhir masa jabatannya sebelum tahun 2024. Keputusan DPR dan Pemerintah yang meniadakan Pemilu di 2022 dan 2023 membawa konsekuensi dibutuhkannya Penjabat untuk mengisi kekosongan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah sebelum tahun 2024, sehingga menimbulkan problematika tersendiri.
Titi Anggraeni menyampaikan mengenai Pemilihan Serentak 2024 dan impilikasinya terhadap tata kelola penyelenggaraan pemilu. Tata kelola pemilu (electoral governance) sendiri merupakan rangkaian kegiatan yang lebih luas menciptakan dan memelihara kerangka kelembagaan, dimana pemungutan suara dan persaingan elektoral terjadi, yang beroperasi pada tingkatan mulai dari pembuatan aturan, penerapan aturan, dan ajudikasi aturan. Meskipun variabel sosial, ekonomi, politik dan sejarah turut mempengaruhi pemilu yang demokratis, namun tidak mungkin pemilu dapat terselenggara dengan bebas dan adil tanpa tata kelola pemilu yang efektif. Ada korelasi yang kuat antara tata kelola pemilu yang baik dengan kualitas dan tujuan dalam mengkonsolidasikan proses demokrasi. Tata Kelola pemilu memiliki jangkauan yang luas, tidak hanya sekedar pada pelaksanaan tahapan dan kerja-kerja KPU.
Pemilu di Indonesia yang merupakan terbesar satu hari di Dunia, memiliki dampak yang sangat nyata dari sisi teknis. Kompleksitasnya semakin tinggi ketika pelaksanaan pemilu serentak melalui 5 kotak pada tahun 2019 lalu. Sejalan dengan persepsi pemilih dalam sebuah survei pasca Pemilu Tahun 2019, dimana mayoritas responden, baik dari publik maupun para tokoh menyatakan setuju bahwa pemilu serentak menyulitkan pemilih dan setuju agar format pemilu serentak diubah. Sejalan pula dengan hasil evaluasi hukum terkait pemilu yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementrian Hukum dan HAM RI yang merekomendasikan untuk mengubah model keserentakan pemilu 5 kotak menjadi model pemilu serentak nasional dan lokal, yakni pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kab/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota.
BPHN merekomendasikan untuk menerapkan penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemilu (khususnya dalam penghitungan suara), mengubah kelembagaan Bawaslu menjadi lembaga ajudikasi (sedangkan fungsi pengawasan diserahkan kepada masyarakat), melakukan perbaikan atas kelemahan-kelemahan pada sistem pemilihan presiden, sistem pemilihan legislatif, dan sistem pemilihan DPD, serta melakukan perbaikan pengaturan electoral justice system. Dari beberapa rekomendasi tersebut, mengarah kepada reformasi tata kelola pemilu Indonesia melalui perubahan kerangka hukum pemilu, dalam hal ini adalah perubahan undang-undang pemilu, dimana faktanya saat ini adalah tidak adanya revisi undang-undang pemilu, pemilihan & undang-undang partai politik.
Titi menegaskan, dalam menghadapi Pemilu Serentak Tahun 2024, diperlukan adanya terobosan teknis yang harus dipetakan, disiapkan dengan baik, dan terintegrasi, terutama mengenai teknologi informasi dengan upaya serius mendorong digitalisasi sertifikasi hasil penghitungan suara di TPS, menata efektivitas bimbingan teknis dan redistribusi beban petugas KPPS/PPK/pengawas lapangan, keterbukaan diperkuat, yaitu akses pada rekam jejak calon legislatif (bukan menutup tapi melindungi data), serta road map strategi komunikasi penjangkauan publik yang efektif dalam melawan disinformasi dan hoaks pemilu. Penyelenggara pemilu juga harus mampu mencitrakan dirinya sebagai figure imparsial, kompeten dan inklusif, yang dijaga maksimal sejak proses seleksi berlangsung.
Ferry Kurnia Rizkiyansyah menyampaikan di tahun 2022 ada 101 Kepala daerah yang akan habis masa jabatannya, dan di tahun 2023 sebanyak 171 Kepala Daerah. Menurut Ferry, hal ini tentu akan menimbulkan suatu problematika yang luar biasa dan menjadi poin penting yang harus dicermati. Setidaknya ada 4 problematika yang muncul dalam konteks proses penunjukan Kepala Daerah, yaitu: (1) Problem konstitusi, dimana UUD 1945 Pasal 18 mengamanatkan kepala daerah dipilih secara demokratis; (2) Problematika legitimasi; (3) Problematika kewenangan kepala daerah, dimana akan terjadi tumpang tindih kewenangan; dan (4) Problematika masa jabatan.
Jamaludin Ghafur membahas mengenai pilkada reguler dan kaderisasi partai politik. Tidak adanya pilkada di tahun 2022 dan 2023 erat hubungannya dengan kaderisasi partai politik, terutama dalam konteks rekrutmen pejabat publik. Ketika sistem ketatanegaraan dipilih sebagai sistem yang akan dibangun berdasarkan sistem demokrasi, maka pemilu dan pilkada menjadi penting. Sehingga timbul pertanyaan, konsekuensi apa yang akan dihadapi apabila pilkada di tahun 2022 dan 2023 ditiadakan? Lebih lanjut Jamaludin menjelaskan, partai politik merupakan suatu organisasi yang berhubungan erat dengan kekuasaan melalui cara pemilihan yang demokratis dan bekerja memalui mekanisme perwakilan dalam pemerintahan. Karena partai politik merupakan organisasi yang erat kaitannya dengan kekuasaan negara, maka para ahli memberikan pembeda antara partai politik dengan organisasi non partai politik, yaitu pada aspek bahwa fungsi minimal dari partai politik adalah untuk merekrut kandidat pejabat publik. Karakter ini yang tidak dimiliki oleh organisasi sosial dan politik lainnya. Maka apabila Pemilu dan Pemilihan Tahun 2022 dan 2023 tidak dilaksanakan, maka siapa kelak yang berwenang melaksanakan rekrutmen tersebut?
Sebagai catatan, untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali Kota sampai dengan terpilihnya Gubernur, Bupati dan Wali Kota melalui Pemilihan Serentak Tahun 2024. Penjabat kepala daerah tersebut memiliki masa jabatan 1 tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 tahun berikut dengan orang yang sama ataupun berbeda. Seperti yang telah diungkap oleh narasumber sebelumnya, bahwa di tahun 2022 dan 2023 ini terdapat sekitar 271 Kepala Daerah yang habis masa jabatannya, dimana penggantinya akan dipilih oleh pemerintah pusat, sehingga tidak lagi dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung. Permasalahan yang akan terjadi dengan adanya kekosongan ini dengan periode yang sangat singkat tersebut tidak sesuai dengan biaya kampanye yang telah dikeluarkan calon, sehingga muncul alternatif lain kekosongan tersebut diganti oleh penjabat. Namun hal tersebut harus dipertimbangkan karena penjabat sementara (Pjs.) untuk mengisi kekosongan tersebut ternyata tidak bersifat sementara. Akan banyak kerja-kerja kepala daerah yang terkendala, karena bagaimanpun Pjs. tidak akan sama kekuasaanya dengan kepala daerah definitif yang dipilih langsung oleh rakyat, sehingga semua keputusan politiknya ada pada pemerintah pusat. Hal ini tentu tidak sejalan dengan prinsip demokrasi yang telah dibangun yang merupakan amanat konstitusi. Oleh karenanya, Presiden perlu merubah mekanisme Pjs. menjadi pemilihan melalui DPRD dengan catatan periode waktu hanya dua tahun. Sehingga beberapa hal yang menjadi aturan main dalam konteks pengisian jabatan publik yang harus diisi melalui mekanisme pemilu akan tetap dapat menjadi solusi atas pendeknya periode masa jabatan bagi kepala daerah yang akan mengisi jabatan diantara tahun 2022 sampai 2024. (Humas KPU Kabupaten Bandung)
Follow Us
Selengkapnya