URGENSI DIGITALISASI DALAM KEPEMILUAN

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Pusat Data dan Informasi KPU mengadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan secara daring pada hari Jumat, 11 Februari 2022. Acara ini diikuti oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota se-Indonesia. Kegiatan tersebut diadakan dalam rangka menyusun indeks digital KPU sebagai upaya untuk mengetahui status literasi digital serta memastikan peningkatan pemahaman literasi digital di lingkungan KPU. Pada kesempatan ini menghadirkan narasumber dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Sindikat Pemilu dan Demokrasi, Komite Independen Pemantau Pemilu, serta Teknologi Digital Visi Nusantara Bogor.

Ketua KPU, Ilham Saputra, mengatakan bahwa saat ini penggunaan teknologi digital sudah menjadi bagian penting dalam aktivitas sehari-hari, sehingga digitalisasi di era sekarang ini sudah tidak dapat dikesampingkan lagi. Oleh karena itu, penggunaan tools-tools digital dalam rangka penyelenggaraan pemilu dan pemilihan akan terus direncanakan oleh KPU. Diperlukan pemahaman terhadap penerapan tools digital, maka dari itu seluruh jajaran KPU, baik tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota, bahkan hingga tingkat ad hoc harus memiliki pemahaman mengenai perencanaan dalam proses digitalisasi setiap tahapan. Sehingga diharapkan transparansi penyelenggaraan pemilu dan pemilihan menjadi lebih sempurna. KPU berharap, penyusunan indeks digital perlu menjadi perhatian khusus untuk mengetahui bagaimana pemahaman literasi terhadap digitalisasi itu sendiri. Sampai saat ini KPU telah menyiapkan penguatan kebijakan informasi dengan ditetapkannya Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2021 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Di dalam peraturan tersebut mengatur mengenai tata kelola teknologi informasi agar dapat dilakukan secara cepat, tepat, serta bagaimana penggunaan teknologi informasi dapat mempermudah kerja KPU dan tidak menjadi persoalan dikemudian hari.

Viryan Aziz selaku Anggota KPU, menyampaikan bahwa penyusunan Indeks Digital Pemilu (IDK) merupakan hal yang baru sebagai bagian dari terobosan yang dilakukan oleh KPU. Transformasi digital telah menjadi sebuah menjadi kebutuhan dan keharusan bagi setiap orang. KPU sendiri telah melakukan beberapa dialog mengenai digitalilsasi pemilu, yang mana kegiatan tersebut merupakan  bentuk ikhtiar untuk melakukan transformasi digital di internal KPU agar dapat bekerja secara baik dalam kultur digital. IDK mempunyai makna sebagai adaptasi, transformasi dan budaya kerja di jajaran KPU dalam menghadapi Pemilu Tahun 2024 dengan segala aspek digitalnya. Sehingga perlu ada penguatan kapasitas dengan perubahan yang terstruktur agar menghasilkan perilaku kerja secara seragam di seluruh Indonesia. IDK disusun sebagai kerangka untuk susksesnya digitalisasi pemilu, untuk menyederhanakan kompleksitas dan kesulitan pemilu yang selama ini telah diketahui bersama.

Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunisa Agustyati, mengutarakan saat ini teknologi digunakan sebagai “alat” untuk mencapai tujuan tertentu dalam pemilu, salah satunya menciptakan pemilu yang berkualitas dan berintegritas. Dengan teknologi, masyarakat menjadi lebih percaya terhadap proses dan hasil pemilu, sehingga diharapkan teknologi dapat mempermudah kerja penyelenggara dan membuat penyelenggaraan pemilu menjadi efektif dan efisien. Namun demikian tidak ada teknologi yang ideal dan terbaik, yang ada ialah penggunaan teknologi pemilu yang sesuai dengan kebutuhan. Terdapat beberapa prinsip penerapan teknologi dalam Pemilu menurut ACE Project, diantaranya penilaian yang menyeluruh terhadap kemajuan teknologi, mempertimbangkan dampak dari penerapan teknologi, menjaga transparansi dan etika, memastikan dan memperhatikan keamanan teknologi, mencoba akurasi data yang dihasilkan, memastikan keberhasilan, serta memastikan inklusifitas.

Selajutnya Nixigo Sasvito dari Teknologi Digital ITB Visi Nusantara Bogor, mengemukakan dalam menyusun IDK, perlu kiranya mengetahui terlebih dahulu kebermanfaatan darn kegunaan dari sebuah sistem. Nixigo membagi aplikasi yang dimiliki oleh KPU ke dalam tiga dimensi, yaitu penyelenggara, peserta dan pemilih. Kemudian menentukan variabel untuk mengetahui apakah kendala yang dihadapi terkait dengan aplikasi-aplikasi tersebut, sehingga ke depan diharapkan KPU dapat menyosialisasikan dan menampilkan informasi mengenai aplikasi yang akan digunakan. KPU juga harus dapat meningkatkan kapasitas, aksesbilitas dan keamanan, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM), serta dibutuhkan satu aplikasi yang dapat mengintegrasikan semua aplikasi kepemiluan disetiap tahapan.

Sementara Erik Kurniawan dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, melihat literasi digitalisasi pemilu dari perspektif keterbukaan informasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan teknologi informasi, transparansi, dan literasi digital akan menjadi satu hal dalam setiap pelaksanaan fungsi pemerintahan utama maupun dalam penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024 mendatang. Dapat dikatakan, bahwa salah satu latar belakang munculnya SPBE diawali oleh dorongan adanya keterbukaan informasi dan pemerintahan yang terbuka. Pendekatan dari sisi keterbukaan informasi ini menjadi satu hal yang penting karena terkait langsung dengan slogan KPU, yaitu KPU Melayani. Ada tiga fase penting dalam mendorong transparansi yang bermanfaat, yakni full disclosure: compliance management, apa yang harus disempurnakan oleh KPU dari beberapa aplikasi yang dimiliki. Kemudian perlu ada regulasi mengenai digitalisasi data KPU. Di era transparansi saat ini, KPU harus me-review meta data dan big data, serta merumuskan kebutuhan micro data yang nantinya akan berujung pada digitalisasi data di KPU. Selanjutnya adalah pelaksanaan open data. Secara internal KPU harus me-review apakah sistem informasi yang ada sudah mengakselerasi pelayanan, dan secara eksternal KPU juga harus dapat mengorganisasi user review, apakah sistem informasi sudah mudah digunakan dan mengena dengan kepentingan pemilih maupun peserta pemilu.

Terakhir, Jojo Rohi dari Komite Indpenden Pemantau Pemilu, menambahkan apa yang telah disampaikan narasumber sebelumnya. Penyelenggara pemilu biasanya mengorganisir dua hal, yaitu pengorganisiran manusia (aparatur) dari tingkat pusat sampai tingkat paling bawah, dan pengorganisiran data. Berangkat dari pengalaman Pemilu Tahun 2019, publik dihadapkan dengan tsunami informasi, dimana publik sulit untuk membedakan informasi yang valid dengan informasi hoaks. Hal ini akan menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu untuk dapat mengorganisir data sebagai bagian dari data valid yang bertumpang tindih dengan informasi yang bersifat hoaks. Pada prinsipnya terdapat dua stakeholder yang harus dilayani oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu, yaitu pemilih dan peserta pemilu yang merupakan user dari data digital yang akan disusun oleh KPU.

Terdapat beberapa hal yang dibutuhkan dalam literasi digital, seperti tools (gadget), content, dan infrastruktur jaringan komunikasi. Data digital berkaitan dengan isu akurasi juga kecepatan data. Akurasi data dari penyelenggara menjadi penting, sehingga publik dapat meng-update data yang dimiliki oleh KPU. Menurut Jojo, baik data digital maupun data manual, secara prinsip adalah memenuhi hak publik atas informasi, baik informasi penyelenggaraan maupun tentang peserta. Hal ini harus dapat segara diakses oleh pemilih, sehingga nantinya akan bersinergi dengan sosialisasi yang dilakukan secara manual dan tatap muka antara penyelengara dan pemilih. Pemilih harus dipenuhi haknya untuk mendapatkan informasi tersebut, sehingga pemilih sudah mendapatkan alasan untuk memilih calonnya ketika datang ke TPS. (Humas KPU Kabupaten Bandung)

Follow Us

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 68 Kali.