UNTUNG RUGI JIKA MASA KAMPANYE PEMILU TAHUN 2024 DIPERPENDEK
Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – KPU telah mengusulkan masa kampanye Pemilu Tahun 2024 selama 120 hari, namun DPR RI menyarankan agar masa kampanye tersebut dapat dipersingkat lagi. Dengan adanya usulan mengenai masa kampanye, KPU tentu mempertimbangkan kembali wacana tersebut. Materi ini menjadi tema webinar yang diselenggarakan oleh Lingkar MAdani, Konstitusi Demokrasi (KoDe Inisiatif), Perludem dan Nyapres 2024 dengan tema “Masa Kampanye 2024 dipendekkan: Siapa Untung, Siapa Rugi?” Acara ini diselenggarakan secara daring pada hari Jumat, 4 Februari 2022. Bertindak sebagai pembicara pada kesempatan ini adalah Anggota KPU RI, Pramonio Ubaid, Direktur Lingkar MAdani, Ray Rangkuti, Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, serta Koordinator Harian KoDe Inisiatif, Ihsan Maulana.
Pramono Ubaid menyampaikan bahwasannya sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, telah disebutkan bahwa kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggungjawab. Kampanye merupakan medium bagi peserta pemilu (dan calon) untuk memperkenalkan diri, menawarkan visi-misi-program, serta mempersuasi pemilih agar memilih diri mereka dalam pemilu. Diperlukan tiga tahapan bagi pemilih untuk menjatuhkan pilihan, yakni mengenal calon dan partainya, suka dan memilih, sehingga peserta pemilu (dan calon) perlu waktu yang cukup untuk menaikkan popularitas, likeabilitas dan elektabilitas. Oleh karena itu, peserta pemilu dan calon yang baru bertarung pada pemilu mendatang memerlukan masa kampanye yang lebih panjang, karena harus memulai tahapan tersebut dari awal dengan memperkenalkan diri, menawarkan visi-misi-program, kemudian mengajak calon pemilih untuk memilih. Namun lain halnya dengan peserta pemilu (dan calon) yang lama, memerlukan masa kampanye lebih pendek, karena tidak harus memulai dari awal. Peserta pemilu lama telah dikenal oleh konstituen dalam lima tahun sebelumnya, sehingga mereka hanya perlu untuk menawarkan nomor urut-visi-misi-program yang baru serta mengajak calon pemilih untuk memilih.
Dalam konteks keadilan pemilu atau kesetaraan peserta pemilu, maka KPU harus memberikan ruang yang sama kepada seluruh peserta pemilu (dan calon) untuk mengenalkan diri, menawarkan visi-misi, lalu mempersuasi pemilih menggunakan hak pilihnya untuk memilih kandidat tersebut. Pramono menambahkan, pemilu sendiri merupakan sebuah kompetisi untuk memperebutkan jabatan-jabatan politik, yang secara inhern mengandung persaingan antara kelompok. Terlebih masyarakat Indonesia terdiri dari beragam kelompok identitas, maka perbedaan-perbedaan sosial tersebut akan diungkap dan dieksploitasi oleh peserta pemilu (dan calon) sebagai pembeda dari peserta pemilu lainnya untuk mendapatkan dukungan suara dari pemilih. Pemerintah, aparat keamanan, serta pakar resolusi konflik memandang bahwa semakin panjang masa kampanye, akan semakin lama perbedaan tersebut terungkap ke permukaan, begitu pula sebaliknya. Padahal pemilu sendiri merupakan cara beradab untuk menyelesaikan perbedaan sosial politik, untuk menentukan siapa yang unggul, bukan dengan adu kekuatan fisik, namun siapa yang memperoleh dukungan terbesar dari rakyat. Akan tetapi perlu diingat bahwa masa kampanye bukan satu-satunya yang menimbulkan konflik dalam pemilu, banyak faktor lain seperti sistem pemilu, jumlah dan perilaku kandidat, serta integritas penyelenggara.
Ray Rangkuti mengungkapkan keberatannya terkait rencana pemendekan jadwal kampanye. Masa kampanye yang pendek akan merugikan peserta pemilu yang baru, karena memiliki waktu yang minim dalam kampanye dan kurang dikenal oleh publik. Argumen pemerintah perihal pemendekan masa kampanye tersebut dapat dipahami terkait dengan kekhawatiran memicu munculnya berbagai konflik akibat pelaksanaan kampanye yang panjang serta pembiayaan yang cukup besar oleh kandidat maupun negara. Namun jika ingin memberikan keadilan bagi kandidat, sebaiknya waktu kampanye dapat diberikan lebih lama lagi. Kampanye sendiri merupakan salah satu prinsip dalam pelaksanaan pemilu, dimana setiap peserta pemilu dan warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan informasi yang cukup terhadap calon peserta pemilih.
Selanjutnya Titi Anggraini menyampaikan terkait kampanye pemilu yang demokratis. Bahwa kerangka hukum harus menjamin setiap partai politik dan kandidat menikmati hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan berkumpul, memiliki akses terhadap para pemilih dan semua pihak yang terkait dalam proses pemilihan dengan peluang yang sama. Masa kampanye digunakan untuk memperkenalkan identitas yang spesifik dari partai politik sebagai peserta pemilu serta pasangan calon yang maju di pemilu. Tetapi realitasnya, partai politik dan bakal calon telah sejak jauh hari menyosialisasikan diri di tengah masyarakat. Pengaturan masa kampanye di Indonesia ternyata berkorelasi dengan akuntabilitas dana kampanye, berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran peserta pemilu. Terdapat jeda waktu antara penetapan partai politik sebagai peserta pemilu dengan dimulainya masa kampanye. Hal ini yang menyebabkan munculnya perdebatan terkait pencitraan atau penjangkauan pemilih oleh partai politik, diantara waktu penetapan partai politik sebagai peserta pemilu sampai dengan dimulainya masa kampanye. Seringkali periode itu dianggap bukan bagian dari aktivitas kampanye, sehingga tidak perlu dilaporkan pengeluaran dana-dana selama periode tersebut.
Titi juga menyimpulkan, jika berbicara mengenai periode kampanye, maka kampanye tidak memiliki periode/durasi atau masa kampanye yang ideal dalam praktik pemilu global. Pengaturan masa kampanye harus memastikan tersedianya kompetisi yang adil dan setara antar peserta pemilu dengan peluang keberhasilan yang sama antara satu dengan lainya. Dengan konstruksi hukum yang ada saat ini, dimana masa kampanye berkolerasi dengan penyediaan logistik pemilu, maka masa kampanye Pemilu Tahun 2024 harus diatur dan dipastikan tidak mengganggu ketersediaan logistik pada hari H pemilu. Untuk itu pertimbangan kalkulasi teknis KPU sebagai pihak yang paling memahami beban kerja penyelenggara pemilu semestinya dapat diperhatikan dan dihormati oleh semua pihak.
Sementara menurut ihsan Maulana perlu dilakukan kajian dan simulasi lebih lanjut terkait durasi kampanye 90 hari dan 120 hari untuk dibandingkan, sebelum kemudian ditetapkan di dalam peraturan KPU terkait durasi kampanye pada Pemilu Tahun 2024. Diperlukan juga adanya perubahan undang-undang pemilu untuk melakukan penataan durasi kampanye yang tidak merumitkan teknis administrasi kepemiluan seperli logistik dan memperhitungkan electoral justice system agar dapat bekerja secara optimal dan berkeadilan. Di samping itu juga perlu adanya sinergi antar penyelenggara pemilu untuk memastikan durasi kampanye yang diterapkan memiliki kesepemahaman yang sama agar tidak terjadi sengketa dikemudian hari. (Humas KPU Kabupaten Bandung)