Berita Terkini

70

MEMBANGUN SINERGITAS DAN SOLIDARITAS PENYELENGGARAAN PEMILU

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Jumat (08/10/2021), KPU Provinsi Jawa Barat bersama KPU Kota Tasikmalaya dan Bawaslu Kota Tasikmalaya menyelenggarakan webinar dengan tema "Membangun Sinergitas dan Solidaritas Penyelenggaraan Pemilu (KPU dan Bawaslu) untuk menyukseskan Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024". Ketua KPU Kota Tasikmalaya, Ade Zaenul Mutaqin, memberikan sambutannya sebagai pembuka pada webinar hari ini. Sebagaimana diketahui bahwa KPU dan Bawaslu memiliki tanggungjawab yang sama dalam terselenggaranya pelaksanaan pemilu, maka dibutuhkan sinergitas dan soliditas untuk suksesnya pelaksanaan. Secara regulatif, kewenangan KPU dan Bawaslu sudah diatur secara jelas berdasarkan peraturan perundang-undangan, namun demikian dalam pelaksanaannya sering terjadi perbedaan pemahaman sehingga menimbulkan kesan adanya polemik dan konflik. Oleh karenanya, KPU menggagas kegiatan ini dengan tujuan adanya pemikiran-pemikiran yang dapat direkomendasikan dan melahirkan saran dan masukan, baik dalam rangka perbaikan di tingkat regulasi atau dalam pola hubungan komunikasi dengan Bawaslu, sehingga tidak terkesan adanya konflik diantara kedua lembaga ini. Ketua Bawaslu Kota Tasikmalaya, Ijang Jamaludin, memberikan pengantar diskusi dalam webinar ini. Adanya interaksi antar penyelenggara, baik KPU maupun Bawaslu yang menghasilkan keseimbangan yang harmonis sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal, yaitu hasil dari proses pemilu. Jika dilihat dari teori efektivitas hukum, efektif tidaknya sebuah hukum dipengaruhi oleh lima faktor, salah satunya adalah faktor hukum atau faktor penegak hukumnya. KPU dan Bawaslu termasuk DKPP adalah pelaksana dalam undang-undang pemilu, efektif atau tidaknya hukum dalam pemilu itu bagaimana memaknai undang-undang pemilu itu sendiri. Sehingga menurut Ijang yang disebut dengan sinergitas antara penyelenggara pemilu terkait dengan tugas, kewajiban dan wewenang lembaganya. Oleh karenanya maka perlu dijalin sebuah interaksi yang menghasilkan sebuah keseimbangan supaya lembaga tersebut tidak melebihi kapasitas tugas dan wewenangnya. Anggota DPR RI Komisi II, Zulfikar Arse Sadikin, sebagai narasumber pertama, menyampaikan Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024 merupakan uji bagi demokrasi Indonesia untuk kesekian kalinya setelah mengalami batu uji di Pemilu Tahun 2019 dan Pemilihan Serentak Tahun 2020. Di 2024 akan ada tahapan yang bersamaan dan suksesi atau pergantian rezim, namun demikian karena sudah seringnya pelaksanakan pemilu sejak orde reformasi sampai saat ini, dan secara umum dapat dikatakan berhasil dan diterima oleh semua pihak, maka seharusnya ke depan tidak akan menjadi persoalan yang sangat berat terlebih apabila penyelenggara mampu mengetahui akar penyebab masalah pemilu yang sudah pernah dihadapi dan akan dihadapi. Apa sesungguhnya akar masalah yang telah ditemui dan akan ditemui, dapat memberikan jalan keluar dari masalah dan penyebabnya. Penyelenggaraan pemilu walaupun dilaksanakan oleh KPU, Bawaslu dan DKPP, tetapi pada pelaksanaanya melibatkan banyak pihak, sehingga tidak bisa bekerja sendirian. Dalam rangka kolaborasi ini, Zulfikar menekankan, pertama, penyelenggara perlu membuka pemahaman terhadap norma-norma yang ada, harus ada pemahaman yang sama antara KPU dan Bawaslu. Kedua, KPU dan Bawaslu termasuk DKPP merupakan satu rumah, yaitu rumah penyelenggara pemilu. Sudah seharusnya satu pendapat dan sepemahaman. Ketiga, diharapkan jika pemahaman semakin bagus dan komunikasi semakin baik, maka sinergitas dan kolaborasi antara penyelenggara pemilu untuk menyukseskan agenda demokrasi tahun 2024 akan tercapai. Ketua KPU Provinsi Jawa Barat, Rifqi Ali Mubarok, turut menjadi narasumber. KPU dan Bawaslu sebagai badan penyelenggara Pemilu, maka tugasnya adalah bagaimana badan penyelenggara tersebut dapat berjalan secara efektif untuk melaksanakan manajemen pemilu dan pemilihan yang berkualitas sebagai tujuannya. Kualitas dari manajemen pemilu, erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat, yang merupakan bagian dari fungsi badan penyelenggara pemilu. Sehingga apabila terjadi masalah dengan kualitas pemilu dan manajemen pemilu, maka penyelenggaralah yang akan disalahkan, namun jika terdapat keberhasilan dalam pemilu, maka hal tersebut merupakan wujud dari sinergitas antara penyelenggara, yaitu KPU dan Bawaslu yang sama-sama mengawal proses dan tahapan pemilu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sinergitas ini merupakan implementasi dari check and balance dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing. Di Jawa Barat, sinergi yang dibangun antara KPU dengan Bawaslu dilakukan dalam bentuk koordinasi. Koordinasi yang dimaksud guna mencapai keselarasan, keserasian dan keterpaduan terkait dengan pelaksanakan tahapan dan kebijakan-kebijakan pemilu maupun pemilihan. Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Barat, Abdullah Dahlan, juga hadir sebagai narasumber. Sebagai penyelenggara pemilu, Bawaslu, KPU dan DKPP memiiliki visi bersama, yaitu menghadirkan pemilu demokratis. Sehubungan dengan hal itu, perlu dipetakan isu-isu krusial dalam penyelenggaraan pemilu serentak yang akan dihadapi. Dalam konteks tersebut, korelasinya dalam membangun sinergi dan soliditas, KPU dan Bawaslu membangun relasi yang kritis sinergis, khususnya dalam merespon dan mencari solusi terhadap masalah yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi pelaksanaan undang-undang dan Peraturan KPU. KPU dan Bawaslu harus senantiasa “kritis-sinergis” menjalankan tugas, kewenangan dan kewajibannya dalam pelaksanaan tahapan pemilu, dengan cara komunikasi formal dan informal, pelibatan dalam setiap tahapan pemilu, transparan dalam batas-batas yang diperbolehkan undang-undang, serta akses data dan informasi (keterbukaan informasi) saling support dalam menjalankan tugas dan kewenangan. Bawaslu juga berkolaborasi dengan stakeholders utama yang ada dalam lingkup kepemiluan, seperti pemerintah, organisasi masyarakat pemantau pemilu, partai politik, akademisi juga media. Karena menghadirkan pemilu demokratis bukan hanya tanggungjawab KPU dan Bawaslu. Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Publik FISIP UI, Hurriyah, menjadi narasumber terakhir dari kalangan akademisi. Menyambung apa yang dibahas narasumber sebelumnya, jika berbicara mengenai problem sinergi antara penyelenggara pemilu, wacana yang relatif dominan dimunculkan oleh peneliti, salah satunya adalah penataan ulang (komunikasi) lembaga penyelenggara pemilu. Jika dilihat dari ketiga lembaga penyelenggara di Indonesia (KPU, Bawaslu dan DKPP), kemunculan lembaga ini tidak dapat dilepaskan dari konteks yang terjadi pada saat itu, yakni adanya perkembangan kelembagaan KPU dan Bawaslu erat kaitannya dengan upaya penguatan kemandirian lembaga-lembaga penyelenggara pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu tidak hanya KPU, tetapi juga Bawaslu sebagai pengawas pemilu. Sedangkan DKPP bukanlah suatu badan penyelenggara pemilu di Indonesia, namun merupakan bagian tak terpisahkan dari administrasi pemilu di Indonesia. Ketiga lembaga tersebut telah diamanatkan oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu menurut fungsi, tugas dan kewenangannya masing-masing. Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar dan terkompleks di dunia, meskipun pemilu maupun pemilihan sudah dilakukan beberapa kali sejak era reformasi, tetapi pengalaman pemilu-pemilu tersebut selalu memiliki kompleksitas tersendiri, ada tantangan masing-masing antara pemilu yang satu dengan pemilu yang lain. Dengan demikian jika dilihat dari penyelenggaraan, pemilu di Indonesia sudah banyak memiliki persoalan dan tantangan-tantangan, baik persoalan yang muncul secara rutin maupun situasional. Namun ada juga aspek relasional yang muncul antara lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia yang menjadi satu paradoks. Ketika perkembangan penyelenggara pemilu yang mempunyai lebih dari satu lembaga, maka terdapat penguatan kelembagaan, dan hal tersebut dijamin oleh konstitusi dan undang-undang maupun regulasi yang lain. Tetapi kemudian masih ada persoalan-persoalan lain yang sifatnya lebih kepada bagaimana relasi komunikasi dan koordinasi antara lembaga-lembaga pemilu di Indonesia. Menurut Hurriyah, ada empat faktor penting dalam keberhasilan penyelenggaraan pemilu, yaitu terletak pada kesiapan, profesionalitas, integritas, dan sinergitas KPU, Bawaslu, dan DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu.  (Humas KPU Kabupaten Bandung).


Selengkapnya
48

IDENTIFIKASI BERITA HOAKS PEMILU DAN PEMILIHAN

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Webinar Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) seri ke-5 kembali diselenggarakan oleh KPU RI, Jumat (8/10/21) dengan mengangkat tema Teknik dan Metode Identifikasi Berita Hoaks dalam Pemilu dan Pemilihan. Webinar dibuka secara resmi oleh Ketua KPU RI, Ilham Saputra, serta Anggota KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandhi, yang berkesempatan menyampaikan pengantar diskusinya. Berita hoaks yang sampai dimasyarakat berisiko menurunkan tingkat kepercayaan kepada penyelenggara pemilu, sehingga dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat. Untuk itu, Ilham berpesan kepada KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota serta para Kader DP3 untuk bisa membantu KPU RI dalam menangkal hoaks. Pakar Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (UGM), Narasumber Abdul Gaffar Karim, berkesempatan menjadi yang pertama memaparkan materinya. Hoaks adalah salah satu bentuk konten negatif yang menimbulkan kekacauan informasi, yang dilakukan secara sengaja untuk membuat orang mengambil sikap dan melakukan tindakan yang salah. Abdul menjelaskan ragam konten negatif terdiri dari: (1) Disinformasi, yaitu informasi yang sengaja dibuat salah; (2) Misinformasi, merupakan informasi yang tidak sengaja salah karena sumber tidak lengkap atau tidak akurat; dan (3) Mal-Informasi, merupakan informasi benar tetapi disampaikan dengan cara yang salah atau frame yang salah. Bagaimana menyikapi hoaks tersebut? Abdul memaparkan ada dua pendekatan, yaitu otoritas, dimana kita harus menyediakan informasi yang lengkap dan mudah diakses, serta individu, dalam artian kita sebagai individu harus memfilter informasi dengan cara: (1) Tingkatkan literasi, artinya mempunyai pengetahuan memadai tentang apa yang akan dilakukan; dan (2) Kritis, mampu menyaring dengan baik informasi yang masuk. Perwakilan dari KoDe Inislati, Violla Reininda, menjadi narasumber kedua. Viola memaparkan dari sisi telaah hukum penyebaran hoaks dalam pemilu dan pemilihan. Hoaks menjadi ancaman kualitas demokrasi, diantaranya: (1) Merusak kontestasi pemilu yang setara, bebas, dan adil; (2) Ruang dialektika dimasa pemilu diisi dengan perdebatan hoaks, bukan terkait track record calon, program dan substansi gagasan, ataupun isu krusial; (3) Mendelegitimasi proses penyelenggaraan pemilu dan performa penyelenggara pemilu; (4) Mendegradasi legitimasi publik terhadap pemilu; dan (5) Memecah kerukunan dan persatuan bangsa. Dalam melawan dan mereduksi hoaks, KoDe Inisiatif memliliki beberapa rekomendasi yang mencakup aspek hukum, pengawasan, dan penegakan, meliputi: (1) Merumuskan aturan tentang kampanye di media sosial, kampanye daring, dan pidana hoaks pada pemilu secara komprehensif. Aturan tidak hanya berorientasi pada kepatuhan prosedural kandidat, melainkan juga antisipasi terhadap manuver tindakan kandidat dan mendorong kepatuhan substantif; (2) Investigasi mendalam untuk menemukan keterhubungan antara akun penyebar hoaks dan ujaran kebencian dengan kandidat; (3) Memperkuat koordinasi dan sinergitas antar lembaga negara untuk menangkal berita hoaks, seperti dengan Kominfo dan Kepolisian, serta menjalin kerja sama dengan platform media sosial untuk mendukung pengawasan dan pemantauan konten media sosial; dan (4) Penyelenggara pemilu mengaktifkan information center yang mudah diakses masyarakat sebagai sumber informasi resmi kepemiluan. Peran Media dalam memerangi Informasi Hoaks pada Pemilu dan Pemilihan, disampaikan oleh Ketua Aliansis Jurnalis Indonesia, Sasmito Madrim. Hadirnya informasi dan berita dari sisi media tentu saja memiliki peran yang berbeda. Berita dihasilkan dengan kerja-kerja jurnalistik, kode etik jurnalis, reportase, verifikasi, dan sengketa diproses di Dewan Pers. Sedangkan Informasi, semua orang bisa menyebarkan informasi, belum tentu ada proses verifikasi, bisa jadi informasi palsu, serta sengketa dilaporkan ke platform. Tantangannya yaitu diseminasi, penyebaran hoaks yang makin marak serta deep fake. Maka dari itu rekomendasi untuk memerangi informasi hoaks ini melalui literasi media, kolaborasi dalam mengecek fakta atau kebenaran dari sebuah informasi serta kembali pada media itu sendiri. Kasubdit II Dittipidsiber Bareskrim Polri, AKBP Rizki Agung Prakoso, turut menjadi narasumber penutup yang berbagi pemaparannya mengenai memerangi hoaks atau kepalsuan dari sisi tugas Polri. Bentuk tidak pidana siber dalam tahap penyelenggaraan pemilu dan pemilihan mencakup: (1) Logical attack (serangan logis); (2) Pysical attack (serangan fisik); dan (3) Black campaign (kampanye hitam). Bentuk penanganannya sesuai Surat Edaran Kapolri Nomor 6 Tahun 2015 meliputi Pencarian, Penentuan Target, Eksekusi Target (ditangkap/dilaporkan ke penyedia layanan media sosial), Eksploitasi (lakukan interview, penggeledahan, buka catatan perbankan, ambil data dari perangkat seperti handphone dan komputer milik tersangka), dan Sebarkan Informasi (penerangan kepada masyarakat), Berikan info kepada Dit Intelkam, Dit Binmas (Bhabinkamtibmas) dan Bid Humas agar masyarakat lebih waspada. Serangkaian alur ini merupakan bagian dari akuntabilitas kinerja. Serupa dengan paparan narasumber lainnya, Rizki mengatakan bahwa hoaks, fake news, dan hatespeech semakin marak jelang pilpres dan pileg. Perlu peningkatan kemampuan penyidik dan penyelidik, serta perlu literasi ekspose pesan kamtibmas. Rekomendasi yang dapat disampaikan dari sisi kami sebagai Siber Bareskrim bahwa perlu penceramah agama yang lebih nasionalis dan menghargai perbedaan, dengan mengembangkan pendidikan keagamaan yang terbuka, toleran, dan inklusif; Gerakan silent majority untuk berbicara; serta Peningkatan kesejahteraan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, dan rasa keadilan. (Humas KPU Kabupaten Bandung)


Selengkapnya
229

PENCEGAHAN POLITIK UANG PADA PEMILU DAN PEMILIHAN

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Selasa (5/10/2021), KPU RI Kembali melanjutkan kegiatan webinar Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) yang memasuki seri ke-4. Tema yang diangkat adalah Pendidikan Pemilih dalam Pencegahan Politik Uang pada Pemilu dan Pemilihan. Ketua KPU RI, Ilham Saputra, menyampaikan bahwa KPU tidak hanya bertugas untuk menyelenggarakan pemilu, tetapi juga memberikan penyadaran kepada masyarakat, dalam hal ini sosialisasi dan pendidikan pemilih, agar seluruh tahapan penyelenggaraan berlangsung dengan baik. Salah satu penguatan demokrasi diseluruh negara adalah penyelenggaraan pemilu yang free and fair election untuk dapat meminimalisir tindakan-tindakan yang melanggar peraturan undang-undang. Diskusi pada hari ini membahas mengenai politik uang dan pencegahannya, yang mana politik uang merupakan tindakan setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pemilih, agar bisa untuk tidak menggunakan hak pilih, bisa juga untuk menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah kemudian diarahkan memilih calon tertentu. Oleh karena KPU bekerja sesuai peraturan undang-undang yang ada, KPU berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bagaimana praktik politik uang dalam proses penyelenggaraan pemilu dan pemilihan. Diharapkan dengan program pendidikan pemilih ini dapat memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa politik uang merusak dan mencederai demokrasi. Anggota KPU RI Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, memberikan arahannya sebelum kegiatan dimulai. Berdasarkan hasil evaluasi, isu dan praktik-praktik politik uang dalam konteks pemilu dan pemilihan masih ditemui dan kerap terjadi di tengah masyarakat. Dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi dan demokrasi elektoral di Indonesia, terlebih dalam menghadapi Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024, maka upaya-upaya untuk melakukan sosialisasi pendidikan pemilih dan pencegahan politik uang merupakan hal yang sangat fundamental dan strategis. Terkait hal tersebut diharapkan webinar ini memberikan hal positif dalam kemajuan dan peningkatan kualitas demokrasi ke depan. Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Sri Budi Eko Wardani, menjadi narasumber pertama. Sri menyampaikan pemaparannya mengenai penyebab dan modus praktik transaksi politik dalam pemilu dan pemilihan. Indonesia mengalami perubahan yang dramatis dalam sistem pemilu dan perilaku transaksional politik, dari orde baru dengan mobilisasi yang sangat panjang menuju era reformasi yang parsitipatif, sehingga adanya situasi keterbukaan dan kebebasan sipil yang didorong oleh adanya perubahan sistem perwakilan, sistem pemilu, sistem partai politik sampai dengan sistem perwakilan partai politik. Hal tersebut memberi dampak terhadap perilaku transaksional di dalam politik. Ada situasi yang berubah, dimana sistem pemilu dan kepentingan partai politik dengan kepentingan pemilih, dan ditengahnya terdapat kandidat yang beraktivitas berdasarkan dua kepentingan tersebut. Transaksi politik dalam pemilu berkembang menjadi dua bentuk apabila dilihat dari perilakunya, dapat terjadi antara peserta pemilu dan penyelenggara pemilu, ada transaksi yang melibatkan antar peserta pemilu (kandidat) dengan penyelenggara pemilu dengan modus suap untuk mengubah suara di formulir rekapitulasi, manipulasi formulir dukungan, mobilisasi pemilih yang untuk kemenangan kandidat. Kemudian terjadi antara peserta pemilu dan pemilih, dimana transaksi dilakukan melalui modus vote buying dan kontrak politik dengan tujuan untuk kandidatnya mendapatkan perolehan suara. Sementara untuk pemilihnya dalam pemenuhan kepentingan/aspirasi. Setidaknya ada dua bentuk transaksi politik, yaitu disebut dengan klientelisme dan bias partisan. Klientelisme lebih kepada money politic, dengan cara kandidat menawarkan bantuan materi pada seseorang atau sekelompok orang dengan imbalan dukungan suara atau dukungan politik pada hari pemilihan. Bias partisan, umumnya dipraktikkan oleh petahana kepala daerah ataupun anggota legislatif dengan bentuk aliran bantuan atau program-program pembangunan pada daerah-daerah konstituennya untuk mencari simpati pada masa pemilu. Disinilah peran penting penyelenggara pemilu dalam memberikan pendidikan politik yang memampukan warga dalam mentransaksikan secara programatik aspirasi mereka kepada kandidat/politisi, karena KPU mempunyai tahapan kampanye pemilu yang perlu dilihat tidak hanya dalam kacamata konvensional, tetapi juga dilihat dari kacamata progresif. Bahwa kampanye bukan hanya sarana bagi kandidat dalam menyampaikan visi misi, tetapi juga memberikan ruang bagi warga untuk dapat mendelebrasikan juga kepentingannya pada forum kampanye. Dengan demikian setidaknya dalam jangka panjang, warga dapat mulai melihat bahwa pemilu tidak sekedar dimobilisasi untuk mendapatkan uang, tetapi dapat menjadi ruang bagi warga untuk mentransaksikan aspirasinya, terang Sri. Direktur Pembinaan Peranserta Masyarakat KPK, Kumbul Kuswidjanto Sudjadi, menjadi narasumber kedua. Kumbul membahas mengenai refleksi pencegahan dan pendidikan politik uang, tantangan dan harapan. Jika berbicara tentang bagaimana cara membangun sebuah negara demokrasi, tentunya tidaklah mudah. Jika bicara tentang pemilu berintegritas, tentu seluruh komponen yang terlibat di dalamnya harus berintegritas, baik penyelenggara, kontestan dan rakyat pemilih. Ketiga komponen ini harus memiliki kesamaan visi dan misi. Fakta di lapangan, biaya pilkada sangatlah mahal. Mahalnya biaya pilkada disebabkan karena adanya seluruh komponen yang dijelaskan sebelumnya, namun jika sepakat untuk berintegritas dan tidak ada politik uang, tentu tidak akan ada biaya mahal untuk pilkada. Fakta berikutnya ialah kebutuhan dana pemilu yang besar, adanya money politic, adanya pendonor/sponsor kepada para calon, serta aturan hukum yang dirasa kurang efektif. Inilah yang perlu dihadapi bersama agar ke depan fakta-fakta di lapangan seperti ini tidak terus berkembang. Poltitik uang pada dasarnya kegiatan transaksional antara calon dengan para pemilih, baik secara langsung atau tidak langsung dengan tujuan untuk memilih atau tidak memilih kandidat. Politik uang dilarang karena dampaknya sangatlah buruk yang dapat merusak sistem demokrasi. Pemimpin terpilih tidak kompeten dan tidak berintegritas karena dari awal para calon sudah melakukan politik uang. Anggaran digunakan untuk kepentingan pemodal yang nantinya akan dikembalikan kepada pemodal, sehingga pemimpin terpilih berpotensi untuk korupsi dan menyengsarakan rakyat. Untuk itu membangun integritas menjadi sangat penting, integritas mudah diucapkan namun sulit dilakukan, karena integritas perlu iman yang kuat, konsisten, rela berkorban, perlunya dukungan orang lain untuk mengingatkan, jelas Kumbul. Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, August Mellaz, memberikan pemaparannya mengenai dampak politik uang dalam pemilu dan pemilihan terhadap kualitas demokrasi elektoral di Indonesia. Pasca Pemilu Tahun 2009 muncul suatu gejala dalam sistem elektoral di Indonesia, yaitu personalisasi kandidat yang berdampak terhadap peningkatan pembiayaan kampanye yang berorientasi pada calon. Dua gejala tersebut makin menguat pada Pemilu Tahun 2014, khususnya pada pelaksanaan pileg. Saat dilaksanakannya pemilu serentak, sifat alami keserentakan pemilu membuat posisi pilpres menjadi mayor dan menggeser posisi pileg, sehingga mempersempit wilayah kompetisi pada pileg. Popularitas dan elektabilitas figur calon presiden ditentukan oleh dua aspek, pertama peluang keterpilihan kandidat, dan kedua asosiasi partai atau koalisi pengusung terhadap calon presiden. Formula keterpilihan calon presiden menentukan insentif atau disinsentif kompetisi. Insentif koalisi atau aliansi bagi partai kecil-menengah, sedangkan formula mayoritas sebaliknya menjadi disinsentif. Formula lain disebut Runoff with reduced threshold. Tetapi sifat alami open list pada pileg menimbulkan adanya personal vote, yaitu orientasi perolehan suara sebanyak-banyaknya oleh calon legislatif untuk menggaransi keterpilihannya dan memunculkan situasi menguatnya intraparty competition. Inilah yang mendorong terjadinya candidate centered politics, yaitu orientasi pada perolehan suara calon legislatif mengubah kampanye pileg, tidak lagi berbasis orientasi pada partai, namun menjadi personalisasi calon legislatif. Terlihat dari jenis-jenis kampanye dan pembiayaan kampanye, keduanya berdampak terhadap kompetisi elektoral, khususnya yang dicerminkan melalui dana kampanye. Dari hal tersebut muncul temuan, dalil keserentakan menjadikan pilpres menjadi sentral dan berdampak mempersempit wilayah kompetisi pada pileg, sehingga terjadi pergeseran pola pembiayaan kampanye pada dua data pemilu (non serentak dan serentak). Sistem pileg turut memberikan kontribusi terhadap adanya politik uang, menurut Studi Muhtadi (2018) dalam buku pembiayaan pemilu di Indonesia, menunjukkan bahwa persaingan internal antar calon legislatif di daerah pemilihan dari partai yang sama menjadi penentu dibandingkan persaingan antar partai politik peserta pemilu. Berdasarkan data Pileg 2014, dari 77 dapil yang tersedia, rata-rata selisih perolehan suara calon legislatif pemenang kursi disuatu dapil dengan calon legislatif suara terbanyak dari partai yang sama, jaraknya hanya 1,65%, Tipisnya jarak antara calon legislatif yang memperoleh kursi dibanding calon legislatif berikutnya, ditengarai menjadi variabel penting yang mendorong terjadinya praktik vote buying, ungkap August. August menyimpulkan dalam pembahasannya bahwa pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2019 berdampak terhadap terhadap menurunnya pembiayaan pileg dan bergeser pada meningkatnya pembiayaan pilpres. Meskipun pada pileg terjadi penurunan, namun personalisasi caleg makin menguat. Hal ini ditunjukkan melalui postur pembiayaan kampanye pileg pada tiga (3) aspek: penerimaan, pengeluaran, dan belanja iklan kampanye. Pileg daftar terbuka dalam pelaksanaan pemilu serentak, hendaknya diiringi dengan perubahan paradigma yang menempatkan caleg sebagai obyek utama setara dengan partai dalam pileg.  Pengaturan hukum pemilu hendaknya didesain dengan tujuan menempatkan caleg dan partai sebagai obyek setara, diikat kewajiban dan kepatuhan yang sama untuk comply dengan sistem audit pembiayaan kampanye pemilu, tutup August. Sebagai penutup webinar, Anggota KPU RI Divisi Hukum dan Pengawasan, Hasyim Ashari, turut menyampaikan pemaparannya mengenai Strategi Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih Pencegahan Politik Uang. Seperti apa yang dibahas sebelumnya, bahwa politik uang memiliki dampak terhadap pemilu, dimana politik uang menyebabkan kandidat harus mengeluarkan dana yang besar untuk menduduki jabatan tertentu, sehingga muncul keinginan untuk mengembalikan “modal” pencalonan tersebut. Maka dari itu terjadi penyelewengan kekuasaan yang dilakukan politisi untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan tujuan meningkatkan kekuasaan atau kekayaan. Hal tersebut mengakibatkan rakyat menjadi korban karena hak-haknya sebagai warga negara (pemilih) terampas dan mencederai prinsip keadilan dalam demokrasi. Politik uang juga berkaitan dengan pemilu berintegritas. Menciptakan pemilu yang berintegritas merupakan tanggung jawab bersama antara penyelenggara, pemerintah, peserta pemilu dan pemilih yang secara komprehensif sadar akan pentingnya moral dan etika. Salah satu komponen pemilu berintegritas adalah perilaku etik (ethical behaviour). Adanya perilaku etik tersebut menjadi rambu-rambu normatif bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pemilu agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada malpraktik pemilu, apapun bentuknya (administrasi, pidana dan pelanggaran kode etik). Dengan demikian adanya politik uang yang muncul jelas akan menjatuhkan integritas dari pemilu/pemilihan itu sendiri yang seharusnya dijaga demi suksesi demokrasi menjadi berkualitas, karena politik uang jelas hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Untuk itu, perlu dilakukan strategi sosialisasi dan pendidikan pemilih dalam  pencegahan politik uang, diantaranya dengan dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan, salah satunya melalui program kegiatan DP3. Membenahi penyebaran/diseminasi informasi kepemiluan secara berjenjang melalui peran Badan Koodinasi Hubungan Masyarakat (Bakohumas) KPU serta para pemangku kepentingan kepada masyarakat diseluruh Indonesia. Meyakini dan menyosialisasikan bahwa politik uang melanggar undang-undang karena termasuk tindak pidana pemilu yang akan mendorong pemimpin/wakil rakyat yang rentan korupsi, karena hanya berpikir untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan, sehingga menyebabkan kesejahteraan hanya menumpuk di orang sekitar karena kebijakan yang dihasilkan cenderung menguntungkan orang disekitarnya, serta memberikan informasi kepada masyarakat terkait pelaporan apabila bukti politik uang ditemukan saat pelaksanaan pemilu/pemilihan. (Humas KPU Kabupaten Bandung)


Selengkapnya
112

SELEKSI CALON ANGGOTA KPU RI DAN BAWASLU RI PERIODE 2022-2027

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Senin (04 Oktober 2021), Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri mengadakan webinar terkait Seleksi Calon Anggota KPU RI dan Bawaslu RI Periode 2022-2027. Webinar dibuka oleh Dirjen Politik dan PUM Kemendagri, Bahtiar, yang menyampaikan bahwa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, bahwa persiapan penyelenggaraan seleksi harus disusun paling lambat enam bulan sebelum berakhirnya jabatan penyelenggara pemilu, dalam hal ini Anggota KPU RI dan Bawaslu RI periode 2017-2022 yang akan berakhir pada bulan April 2022. Sehingga pada pertengahan bulan Oktober ini persiapan harus sudah dilaksanakan, dan Tim Seleksi harus sudah dibentuk. Tim seleksi sendiri, sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 berjumlah paling banyak 11 orang dengan memerhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Bahtiar menambahkan, calon peserta anggota KPU RI dan Bawaslu RI yang akan mendaftar diharapkan memahami betul apa saja tugas pokok dan syarat sebelum mendaftar. Seleksi calon anggota KPU RI dan Bawaslu RI memalui beberapa tahapan seleksi yaitu: (1) Pendaftaran, yang diumumkan melalui media massa nasional; (2) Seleksi Administrasi; (3) Tes Tertulis; (4) Tes Psikologi; (5) Tes Kesehatan; dan (5) Tes Wawancara. Hasil dari seleksi ini menghasilkan dua kali calon anggota dan dilaporkan kepada presiden, kemudian diteruskan ke DPR RI untuk dilakukan uji kepatutan dan kelayakan, yang selanjutnya menyampaikan nama-nama terpilih kepada presiden untuk dilantik. Dosen Departemen Ilmu  Politik Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani,  menjadi narasumber pertama. Syarat utama menjadi calon anggota KPU dan Bawaslu memiliki 5 aspek, antara lain non partisan. Mencari non partisan tidaklah mudah karena rekam jejak dari setiap calon yang berbeda, dimungkinkan mereka pernah berkecimpung di dunia partisipasi politik, namun dalam hal ini karena KPU dan Bawaslu merupakan lembaga yang akan mengelola pemilu, dimana berhadapan dan bersentuhan langsung dengan suksesi kepemimpinan nasional, maka sikap non partisan harus ditegakkan. Inilah yang menjadi tantangan bagi panitia seleksi ke depan dalam menyaring orang-orang yang berintegritas dan jujur. Berdasarkan pengalaman selama ini ada beberapa yang menjadi tantangan seleksi KPU dan Bawaslu. Sumber daya potensial rekrutmennya terbatas seputar petahana, aktivis lembagag swadaya masyarakat (LSM) dan akademisi, Tantangan berikutnya adalah  pengetahuan kepemiluan, rekam jejak integritas, proses seleksi, kepentingan politik dan keterwakilan perempuan yang perlu diperkuat dan tidak hanya dipertimbangkan, tetapi wajib, terang Sri. Sri juga menambahkan beberapa rekomendasi terkait seleksi anggota KPU dan Bawaslu, dimana perlu adanya transparansi dalam proses seleksi, baik dalam ranah panitia seleksi maupun ranah DPR. Konsistensi antara proses teknokratik di panitia seleksi dan proses politik di DPR dalam penetapan hasil seleksi untuk meminimalkan potensi intervensi dan kepentingan politik DPR (partai politik) dalam komposisi anggota KPU dan Bawaslu yang terpilih, serta perlu adanya penguatan kebijakan afirmatif dalam peraturan teknis seleksi dan pengambilan keputusan DPR agar peningkatan jumlah perempuan calon anggota KPU dan Bawaslu terefleksikan secara memadai dalam keterpilihan. Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PDI-P, Junimart Girsang, turut menjadi narasumber dalam webinar ini. Menyambung pembahasan sebelumnya, Junimart menyampaikan bahwa DPR RI melalui Komisi II, sesuai dengan perintah Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 ahun 2017 menggariskan bahwa setelah panitia seleksi melakukan kegiatannya dalam rangka menyaring calon anggota penyelenggara pemilu, maka DPR menunggu hasil kerja panitia seleksi melalui presiden. Selama 30 hari setelah DPR menerima surat dari presiden, Komisi II harus sudah bekerja melakukan rekam jejak atau memverifikasi. Komisi II akan membuat tim untuk mencari dan mendalami rekam jejak para calon anggota KPU dan Bawaslu. Sekretaris Departemen Politik dan Pemerintahan Fisip UGM, Mada Sukmajati, menjadi narasumber yang turut menyampaikan paparannya dengan mengangkat tema partisipasi publik dalam proses seleksi calon anggota KPU RI dan Bawaslu RI. Partisipasi publik menjadi sangat penting dalam seleksi calon anggota penyelenggara kepemiluan, karena demokrasi sangat ditentukan oleh pemilu. Pemilu adalah hajatan bersama yang melibatkan semua pihak disebuah negara, sehingga partisipasi publik perlu didorong dalam proses rekruitmen penyelenggara pemilu karena pemilu tidak sebatas aktivitas pencoblosan atau penggunaan hak suara saja, partisipasi masyarakat juga diharapkan dapat menjamin proses dan hasil pemilu yang baik serta menghasilkan para pemimpin yang baik. Partisipasi juga diharapkan dapat menjamin penegakan prinsip Lembaga Penyelenggara Pemilu  (LPP) yang ideal, yang mana prinsip-prinsip besarnya adalah independensi, imparsialitas, integritas, transparansi, efisiensi, profesionalisme dan berorientasi pelayanan. Prinsip-prinsip tersebut membentuk dasar bagi penyelenggaraan kepemiluan dan sangat esensial untuk menjamin integritas proses pemilu, jelas Mada. Pemilu adalah salah satu lembaga politik, sehingga partisipasi politik warga negara individual sangat diharapkan. Partisipasi dalam proses rekruitmen dapat diharapkan dari tokoh-tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, pegiat pemilu atau masyarakat sipil, akademisi dan media massa yang tidak kalah pentingnya. Ada berbagai bentuk partisipasi pemilu, antara lain mencalonkan diri dan memberikan dukungan kepada calon, juga memberikan penolakan kepada calon disertai dengan alasan yang konkret dan valid untuk menghindari pembunuhan karakter dan kampanye hitam, serta mendiskusikan berbagai dinamika pada setiap tahapan dalam berbagai bentuk forum diskusi dalam rangka menghasilkan rekomendasi dan usulan kepada tim seleksi dan DPR untuk mendorong adanya transparansi dan akuntabilitas ditiap tahapan rekruitmen. Terakhir Mada menekankan bahwa partisipasi publik sangat menentukan terbentuknya penyelenggara pemilu yang berintegritas dan kompeten, juga berimplikasi terhadap berhasil atau tidaknya penyelenggaraan pemilu yang LUBER dan JURDIL. Partisipasi publik juga sangat terkait dengan tata kelola pemerintahan yang baik, dan tentu saja partisipasi publik akan mempengaruhi konsolidasi demokrasi, tutup Mada. Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, mengelaborasi poin-poin dari narasumber sebelumnya dan menjelaskan lebih jauh mengenai peran DPR dalam seleksi calon anggota KPU RI dan Bawaslu RI. Harus dipahami bahwa proses seleksi calon anggota KPU RI dan Bawaslu RI sudah diatur dalam undang-undang. Dalam proses seleksi sebelumnya, baik di tingkat pusat ataupun daerah, masih ditemukan beberapa masalah diantaranya terkait kapasitas atau kemampuan memahami soal-soal kepemiluan, permasalahan leadership juga kerap terjadi. Sering ditemukan adanya perbedaan atau konflik antara penyelenggara, kemudian persoalan integritas juga menjadi salah satu masalah. Oleh karenanya proses seleksi di tingkat pusat kali ini penting untuk menjadi pencermatan dan perlu evaluasi. Komisi II berkomitmen untuk mendorong proses seleksi dari awal sampai akhir dapat memenuhi standar yang dijelaskan sebelumnya. Panitia seleksi dibuat oleh pemerintah, karena diharapkan pemerintah berdiri di atas semua kepentingan (netral) dan dapat memilih panitia seleksi yang independen. Diharapkan dengan mekanisme yang sudah ditentukan, ke depannya akan menghasilkan komisioner-komisiner KPU dan Bawaslu yang baik dan dapat menyusun aparat kekuatannya untuk mempersiapkan pemilu di tahun 2024 yang semakin rumit, jelas Doli. Sebagai narasumber terakhir, Ketua Umum AIPI/Anggota DKPP, Alfitra Salam, turut  memberikan pandangannya terkait iim seleksi. Alfitra berharap tim seleksi bukan menjadi sumber masalah. Persoalan-persoalan tim seleksi nasional juga perlu diperhatikan, begitu juga tim seleksi provinsi dan tim seleksi kabupaten/kota. Alfitra sependapat dengan ketua Komisi II yang menganggap bahwa tim seleksi nasional, provinsi dan kabupaten/kota menjadi satu kesatuan. Tim seleksi kabupaten/kota jauh lebih penting karena pelaku-pelaku penyelenggara pemilu lebih banyak di kabupaten/kota, sehingga diharapkan pembahasan seperti ini tidak hanya sampai di tim seleksi nasional, tetapi juga mengkritisi tim seleksi provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, tim seleksi hendaknya memerhatikan tokoh-tokoh daerah, mereka perlu diperhatikan karena kualitasnya juga tidak diragukan, tak lupa mengenai keterwakilan perempuan dalam tim seleksi perlu diperhatikan kembali. Alfitra menekankan bahwa tim seleksi harus bekerja transparan, jangan sampai timbul kecurigaan-kecurigaan yang ada di tim seleksi. Tingkat transparansi tim seleksi sebelumnya hanya sebatas transparansi nilai psikologi, sementara nilai-nilai tentang kertas kerja dan tahapan lainnya tidak terbuka, sehingga masyarakat tidak dapat turut menilai. Pada intinya transparansi dan faktor parsisipasi masyarakat sangatlah penting. (Humas KPU Kabupaten Bandung)


Selengkapnya
67

SHARING OF EXPERIENCE PENGGUNAAN APLIKASI SIREKAP

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Jumat (01/10/2021), Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI)  mengadakan Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan secara daring, bertemakan Sharing of Experience Penggunaan Sirekap pada Pemilihan Tahun 2020. Ketua KPU RI, Ilham Saputra, memberikan sambutannya sekaligus membuka kegiatan FGD secara resmi. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka menerima masukan dan pengalaman saat menggunakan Sirekap pada pemilihan tahun lalu, baik permasalahan yang dihadapi maupun keberhasilan yang dirasakan dari penggunaan aplikasi tersebut, sehingga perbaikan-perbaikan terhadap Sirekap dapat dilakukan. Dari pengalaman tersebut, aplikasi Sirekap dapat diperkuat, disinergikan, dan dioptimalkan. Sirekap ini merupakan kunci dan salah satu core penyelenggara pemilu, ujar Ilham. Koordinator Divisi Teknis KPU Kabupaten Majene, Munawir Ridwan, menjadi narasumber pertama yang akan menyampaikan pengalamannya. Kami tidak ingin kehilangan momentum untuk meng-update perkembangan dalam penggunaan aplikasi Sirekap, sehingga kami selalu mengikuti arahan dan petunjuk teknis yang berlaku, sebut Munawir.  Terkait dengan sirekap secara umum, Munawir mengatakan bahwa hasil diskusi dengan penyelenggara adhoc, tampilan maupun fitur Sirekap sudah sangat familiar dan bersifat instinctive, artinya dapat diraba seperti apa penggunaan menu yang terdapat dalam aplikasi tersebut, tidak terlalu membutuhkan energi yang besar untuk memahami fitur yang ada dalam aplikasi. Adapun fakta dan tantangan yang ada di lapangan, diantaranya adalah sebanyak 20% TPS berada pada blank spot area (mayoritas TPS di wilayah pegunungan), medan tempuh menuju titik jaringan internet kuat sangat berat terutama jika kondisi hujan, proses aktivasi Sirekap, mobilisasi petugas KPPS penanggungjawab Sirekap untuk bimtek dan aktivasi, serta keberpihakan anggaran (biaya transportasi petugas bisa melebihi honor KPPS). KPU Kabupaten Majene juga memilki strategi dan inovasi yang dilakukan dalam bentuk memahami regulasi secara utuh untuk ditransfer kepada penyelenggara adhoc serta mengikuti semua kegiatan dan arahan KPU RI maupun KPU Provinsi untuk mengantisipasi dan menangani dinamika di lapangan, melakukan sosialisasi lebih awal dan pendampingan serta monitoring secara intens di lapangan oleh tim Sirekap KPU, serta dari segi anggaran dioptimalkan untuk kegiatan simulasi nasional, bimtek dan aktivasi Sirekap melalui revisi anggaran. Sesuai dengan pengalaman pada pemilu tahun lalu, Munawir menjelaskan khususnya untuk wilayah yang tidak memiliki jaringan internet, KPU Kabupaten Majene fokus mengawal TPS yang menggunakan mekanisme offline sambil terus memonitor TPS yang wilayahnya menggunakan mekanisme online. Untuk TPS di wilayah blank spot area yang menggunakan mekanisme offline diarahkan berkumpul dititik pelaksanaan rekapitulasi tingkat kecamatan untuk melakukan proses pengiriman data di bawah monitoring dan pendampingan PPK, sehingga tidak dilepaskan satu-satu. Kami selalu meminta mereka melaporkan apa kendala yang ada di lapangan, sehingga tim help desk melakukan kajian analisis masalah agar dapat langsung dikoordinasikan ke tingkat provinsi atau pusat apabila tidak dapat diatasi. Penguatan koordinasi seperti ini yang harus secara intens dilakukan, tutup Munawir. Anggota KPU Kabupaten Konawe Utara, Asmul, menjadi narasumber kedua yang turut membagikan pengalamannya dalam FGD ini. Asmul, menjelasakan secara umum penggunaan aplikasi Sirekap yang merupakan instrumen KPU untuk memudahkan penyelenggara pemilu/pemilihan di setiap tingkatan yang berfungsi  sebagai alat bantu dalam pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara pada setiap, dan sebagai sarana publikasi hasil rekapitulasi penghitungan suara yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada dasarnya penggunaan aplikasi Sirekap mudah dipahami, KPU Kabupaten Konawe Utara juga mendapat respon positif dari peserta pemilihan terkait penggunaan aplikasi tersebut. Bahwa aplikasi ini hadir dan menumbuhkan kepercayaan publik karena dapat diketahui langsung oleh masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya, saat uji coba terdapat beberapa permasalahan, diantaranya gagal menginstal aplikasi, gagal login, tombol aktivasi tidak dapat berfungsi, link aktivasi sudah pernah digunakan, terjadi kesalahan dalam registrasi device, gagal mendaftarkan kode akses, hingga user lupa password dan kode akses. Dari beberapa permasalahan yang muncul tersebut, KPU Kabupaten Konawe Utara melakakukan koordinasi dengan tim help desk KPU Provinsi dan secara vertikal dengan tim help desk KPU RI, sehingga permasalahan dapat teratasi dengan baik. Sama halnya dengan yang terjadi di Kabupaten Kabupaten Majene, Kabupaten Konawe Utara yang memiliki wilayah kepulauan, juga memiliki kendala jaringan dalam penggunaan aplikasi Sirekap di wilayah yang signal internetnya lemah atau tidak ada jaringan. Adapun langkah yang diambil adalah dengan menggunakan aplikasi Sirekap secara offline, selanjutnya proses pengiriman dilakukan dengan cara mencari jaringan yang kuat di wilayah terdekat kemudian mengirimkan foto formulir C.Hasil-KWK kepada petugas KPPS pengguna aplikasi Sirekap yang berada pada wilayah dengan jaringan internetnya kuat untuk diprintout dan dilakukan foto ulang. Rekomendasi dari permasalahan wilayah yang jaringan internetnya lemah, KPU Kabupaten Konawe Utara berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat dalam hal ini Diskominfo terkait fasilitasi pengadaan jaringan internet di wilayah yang lemah jaringan. Sumber daya manusia (SDM) menjadi permasalahan lain yang terdapat di KPU Kabupaten Konawe Utara, karenanya ada beberapa rekomendasi terkait SDM yang disampaikan oleh Asmul. Diharapkan adanya bimbingan teknis pada internal lingkup sekretariat KPU Kabupaten/Kota dan jajaran penyelenggara adhoc secara maksimal, serta dalam hal perekrutan petugas KPPS harus memiliki kecakapan pengetahuan terkait informasi dan teknologi. Terakhir, Asmul memberi masukan penyempurnaan, diharapkan aplikasi Sirekap sudah harus disempurnakan jauh sebelum hari pemungutan suara, imbuh Asmul. KPU Kabupaten Mentawai menjadi narasumber terakhir dalam FGD ini. Iswanto selaku Anggota Divisi Teknis Penyelenggaraan menyampaikan beberapa catatan kerja terhadap proses  rekapitulasi berbasis Sirekap. Sebagai informasi, Kabupaten Mentawai memiliki kekuatan infrastruktur yang seluruhnya bekerjasama dengan Kemenkominfo dan pemerintah daerah (BAKTI) berupa Pasifik Satelit Nusantara (PSN) 59 titik, Lintasarta 24 titik, Matrasat 14 titik, dengan jumlah total 97 Titik. Tahun 2021 bertambah 11 titik, namun baru bisa aktif pada tahun 2022. 97 titik tersebar di seluruh Mentawai, Puskesmas, Kantor Camat, Kantor Desa, dan Sekolah. Mentawai memiliki jaringan internet bawah laut berupa fiber optik yang masih baru dan hanya dapat diakses 13 Km dari Kecamatan Sipora Utara. Ke depannya tentu akan menjadi kakuatan baru bagi Mentawai. Kemudian KPU Kabupaten Mentawai memilik stratetgi tim dalam pembagian operator Sirekap, yang terdiri dari ASN, tenaga pendukung dan tenaga honorer yanga ada di Kabupaten Mentawai. Strategi tim lainnya bahwa setiap PPK Divisi Teknis menjadi operator pembantu KPU Kabupaten Mentawai, setiap PPS Divisi Teknis menjadi operator pembantu PPK, dan setiap Ketua KPPS menjadi pemegang akun utama Sirekap. Kabupaten Mentawai memiliki 265 TPS pada pemilihan sebelumnya, dimana hanya 44 TPS saja yang mendapatkan akses internet fiber optik. Sementara 221 TPS tanpa internet dan menggunakan akses BAKTI yang telah dijelaskan sebelumnya, itupun tergantung listrik. Kabupaten Mentawai juga memiliki beberapa kendala teknis yang sebagian besar hampir sama dengan kendala yang terjadi di daerah lainnya, seperti gagal aktivasi, kapasitas handphone KPPS yang sebagian di bawah standar, dan kegagalan dalam sistem Sirekap saat menggunakan aplikasi berbasis web. Untuk itu KPU Kabupaten Mentawai memiliki strategi dimana operator pembantu KPU Kabupaten Mentawai yang berada di kecamatan, dibantu operator web kecamatan memfoto formulir C.Hasil-KWK saat pelaksanaan rekapitulasi tingkat kecamatan, operator pembantu KPU Kabupaten Mentawai yang berada di kecamatan membawa semua fileuntuk disampaikan kepada KPU Kabupaten Mentawai, operator utama Sirekap KPU Kabupaten Mentawai mengelola dan memverifikasi formulir C.Hasil-KWK. Adapun pelaksanaan Rekapitulasi tingkat kabupaten dilakukan melalui alat bantu Sirekap Web secara online, tutup Iswanto. Pada segmen terakhir, Anggota KPU RI Divisi Teknis Penyelengaraan, Evi Novida Ginting, menyampaikan arahannya. Untuk pertama kalinya pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020, KPU sudah menggunakan aplikasi Sirekap dalam rekapitulasi, yang tentu saja dari hasil evaluasi KPU RI mencatat beberapa kekurangan dan kelemahan yang berkaitan dengan infrastrukur, baik server maupun kendala teknis dalam proses aktivasi, registrasi dan lainnya. Dalam hasil evaluasi juga ditemukan ada unsur dan faktor lain yang juga mempengaruhi berhasil dan tidaknya dalam adaptasi terhadap penggunaan sebuah teknologi yang dibuat oleh KPU RI, yaitu faktor pengendalian dan kepemimpinan. Evaluasi diri juga menjadi sangat penting. Kita perlu mendengar, belajar dan mencoba mempersiapkan diri menyongsong Pemilu Tahun 2024 dengan belajar dari pengalaman teman-teman di daerah lain yang berhasil. Bukan menjadi sempurna, tetapi menjadi lebih baik lagi, tegas Evi. (Humas KPU Kabupaten Bandung).


Selengkapnya
113

TEKNIK KOMUNIKASI PUBLIK DALAM PEMILU DAN PEMILIHAN

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – KPU RI Kembali menggelar kegiatan Webinar Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) yang dilaksanakan pada Jumat (1/10/2021). Dalam  Seri III kali ini mengambil tema Teknik Komunikasi Publik dalam Pemilu dan Pemilihan. Ketua KPU RI, Ilham Saputra, membuka acara ini dengan menyampaikan bahwa dalam program DP3 diperlukan skills dan teknik komunikasi dalam pemilu dan pemilihan ketika pertemuan-pertemuan dengan stakeholders, kader DP3 maupun dengan masyarakat. Komunikasi tidak hanya sekedar menyampaikan, tetapi juga memastikan publik untuk dapat memahami. Diharapkan dengan teknik komunikasi yang baik dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam seluruh tahapan pemilu dengan posisi masing-masing. KPU harus bergerak dalam membangun literasi digital dan pengelolaan media sosial dalam komunikasi kepemiluan, khususnya kepada masyarakat pedesaan. KPU sudah menyusun strategi Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat (Bakohumas) dalam menghadapi Pemilu dan Pemilihan Tahun  2024. Hal ini perlu dilakukan sejak dini agar Bakohumas KPU kuat dan memiliki kompetensi dalam memberikan pelayanan informasi yang optimal dan bertanggungjawab serta memberikan pertimbangan arus informasi dari dan kepada masyarakat. Ilham berharap dengan menghadirkan narasumber dibidangnya dapat memperkaya sudut pandang KPU sebagai penyelenggara terkait komunikasi publik menyongsong Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024. Anggota KPU RI Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, memberikan arahannya sebelum kegiatan dimulai. Menurut Dewa, tema kali ini tidak kalah pentingnya jika dikaitkan dengan pemilu dan pemilihan. Seperti diketahu banyak sekali ketentuan dalam penyelenggaraan pemilihan yang kemudian dipandang perlu untuk dikemas dan menyampaikan pesan-pesannya kepada publik secara umum melalui program DP3 kepada masyarakat pedesaan. Diharapkan komunikasi publik yang dibangun ke depan tidak satu arah dari KPU, tetapi mendapatkan feedback dalam memperbaiki tahapan penyelenggaraan. Anggota KPU RI lainnya, Arif Budiman, menjadi narasumber pertama yang menyampaikan pemaparannya mengenai Strategi komunikasi publik dalam mewujudkan pemilih berdaulat, cerdas dan mandiri. Menurut Arif, strategi komunikasi publik yang paling sederhana adalah senyum, paham siapa yang menjadi target penyampaian komunikasi, khususnya dalam hal ini  apa yang disampaikan kepada pemilih agar mereka menjadi pemilih yang berdaulat, cerdas dan mandiri. Untuk menjadi pemilih berdaulat, cerdas dan mandiri, pemilih harus mampu menggali rekam jejak calon pemimpin. Telusuri riwayat calon pemimpin tersebut, di dalamnya terkait latar belakang keluarga, pendidikan dan bagaimana aktivitasnya di masyarakat, serta menilai derajat integritasnya. Pemilih harus dapat mengedepankan rasionalitas dalam memilih pemimpin berdasarkan penilaian yang objektif dan komprehensif serta rajin mencari dan mempelajari informasi program dan visi misi yang di tawarkan. Apakah relevan dengan kebutuhan masyarakat, terukur dan realistis. Dalam penyelenggaraan pemilu, komunikasi publik diperlukan untuk menyampaikan pesan atau informasi kepemiluan yang sifatnya penting untuk diketahui oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan pemilih maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan agar tujuan penyelenggaraan pemilu dapat tercapai, seperti menginformasikan tahapan-tahapan pemilu. Komunikator publik penyelenggara pemilu dapat dilakukan oleh tenaga kehumasan maupun komunikator publik profesional yang ditunjuk oleh penyelenggara pemilu. Misalnya, influencer, staf humas (juru bicara KPU), wartawan/jurnalis, penyiar radio, presenter berita, dan sebagainya untuk menyampaikan pesan/informasi kepemiluan. Komunikator publik mempunyai peran yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemilu, komunikator harus dapat menyebarluaskan informasi penyelenggara dan penyelengaraan tahapan pemilu, membangun kesadaran (awareness) masyarakat terhadap pentingnya partisipasi dalam pemilu, menciptakan situasi yang kondusif sehingga pemilu dapat berjalan secara damai, mendorong masyarakat menggunakan hak pilih secara rasional, meningkatkan kepercayaan publik (trust) terhadap penyelenggara, penyelenggaraan, dan hasil pemilu, juga sebagai juru bicara yang dapat membangun kerja sama antar lembaga untuk informasi kepemiluan. Penyelenggara pemilu dapat menggunakan berbagai sarana/media dalam berkomunikasi, diantaranya dapat menggunakan media massa, melakukan simulasi, menggunakan billboard atau media luar ruang lainnya, media online, media sosial dan media daring yang belakangan ini seringkali digunakan. Oleh karenanya penyebaran informasi akan sangat cepat dengan menggunakan media-media tersebut, tutup Arif. Narasumber kedua, Dadang Rahmat Hidayat, menyampaikan materi mengenai metode komunikasi publik yang efektif dan partisipatif bagi masyarakat pedesaan. Pedesaan merupakan wilayah yang cukup strategis untuk didorong terus dalam pemilu ini. Dalam sistem politik termasuk Pemilu, komunikasi merupakan sesuatu yang jarang dibicarakan padahal komunikasi merupakan hal yang sangat penting. Kaitannya dengan program DP3 ini, bahwa perlu diingatkan kepada masyarakat desa dengan membuat narasi yang sangat kuat tentang alasan mengapa desa yang harus peduli dan apa keuntungannya bagi desa atau masyarakat desa dengan adanya program tersebut. Desa menjadi sebuah tempat yang sangat strategis untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas. Dalam konteks komunikasi, sebelum berbicara tentang komunikasi yang efektif, untuk membentuk desa peduli pemilu dan pemilihan diperlukan identifikasi permasalahan komunikasi, bagaimana komunikasi yang dibangun, identifikasinya antara lain harus mengetahui kondisi sosial, regional dan nasional dari desa itu sendiri, harus adanya komunikator dalam hal ini KPU sebagai komunikator utamanya, dan bagaimana anggaran komunikasi dan lainnya, ujar Dadang. Untuk menciptakan komunikasi yang efektif, dalam hal komunikator utamanya adalah KPU ataupun komunikatornya adalah mereka yang dipilih KPU ataupun siapapun itu, pada saat menyampaikan pesan-pesan komuikasi tentang pemilu, diperlukan komunikator yang kapabel, kredibel, proximity, dengan cara penyampaian yang berbeda. Pesan yang disampaikan harus benar, jelas, menarik dan singkat, menggunakan media yang kredibel, mudah diakses dan mudah digunakan. Kenali juga komunikan atau penerima pesan dan menentukan tujuan dalam menyampaikan pesan apakah hanya sebatas informasi, edukasi, mempengaruhi perilaku. Untuk itu dalam sebuah komunikasi yang efektif, peran komunikator sangat penting dan berpengaruh. Manajer Kebijakan Publik Facebook Indonesia, Noudhy Valdryno, menjadi narasumber terakhir dalam kegiatan ini. Dalam pemaparannya beliau membahas tentang pengelolaan media sosial dalam komunikasi publik bagi masyarakat pedesaan di era milenial. Di tahun 2024 dipastikan banyak materi komunikasi yang akan disebarkan oleh KPU RI, trend media sosial saat ini berada di era video. Oleh karenanya pembuatan konten harus disesuaikan dengan trend yang berlaku saat ini, karena algoritma dari sebuah platform media sosial akan mengikuti trend yang sedang berlaku di masyarakat. Konten yang dapat berhasil dalam sebuah media sosial adalah konten yang interaktif, khususnya konten mengenai informasi pemilu biasanya dituntut untuk terlihat resmi dapat dibuat tidak terlalu formal, tetapi tetap tidak melupakan substansi dan bersifat personal. Konten yang berhasil juga dapat dilihat dari ketepatan waktu dalam menyebarkan informasi agar tidak kehilangan momentum, karena nilai berita akan menurun. KPU dapat menggunakan berbagai fitur yang terdapat di Facebook ataupun Instagram, yang dapat disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing sesuai karakteristik media sosial itu sendiri. Noudhy menambahkan, ketika konten yang dibuat melawan arus trend, maka bukan hanya merugikan, tetapi membuang-buang waktu dan energi. (Humas KPU Kabupaten Bandung).


Selengkapnya