Berita Terkini

48

KONSTITUSIONALITAS JADWAL PEMILU

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Seiring dengan telah ditetapkannya hari dan tanggal pemungutan suara pada Pemilu Tahun 2024 oleh KPU melalui Keputusan Nomor 21 Tahun 2022, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menggelar webinar dengan mengusung tema “Mengkaji Konstitusionalitas Jadwal Pemilu di Indonesia” pada Kamis, 10 Maret 2022. Bertindak sebagai narasumber pada webinar ini adalah pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, dan Anggota JPPR, Dila Farhani Nurrahman. Terkait dengan Hari Pemungutan Suara Pemilu Tahun 2024 yang telah ditentukan pada 14 Februari 2024, JPPR ingin melihat kembali mengenai mekanisme penentuan jadwal yang selama ini telah dilakukan dengan baik. Namun dalam penentuan jadwal Pemilu Tahun 2024 terdapat proses konstitusi yang berubah. Mekanisme tersebut menjadi kegelisahan JPPR ketika melihat dari siklus tanggal pemilu yang bergeser dari kebiasaan yang sudah dilakukan sebelumnya. JPPR melihat hal tersebut berpotensi dalam pencideraan  mandat dalam konstitusi. Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa sistem pemilu merupakan konsekuensi logis dari sistem pemerintahan yang dianut. Dimana sistem pemilu tentunya mengikuti sistem pemerintahan dalam sebuah negara sesuai prinsip-prinsip dasarnya, yakni bentuk negara, susunan negara (hubungan antara pemerintah pusat dan daerah), serta sistem pemerintahan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 disebutkan secara aspek konstitusionalnya bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Indonesia merupakan negara kesatuan berbentuk republik, konsekuensinya adalah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Dalam Pasal 6 UUD 1945 disebutkan juga bahwa pengisian jabatan presiden melalui pemilui yang dipilih langsung oleh rakyat. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 7 UUD 1945 bahwa masa jabatan presiden adalah 5 (lima) tahun. Dari sanalah diketahui bahwa sistem pemerintahan di Indonesia merupakan sistem presidensial. Hasyim menambahkan, asas pemilu bukan sekedar langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber dan jurdil), namun regularitas pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali juga merupakan asas pemilu. Menanggapi perihal isu terhadap lontaran gagasan tentang penundaan pemilu, dimana kedudukan KPU yang dimandati sebagai penyelenggara pemilu semata-mata menjalankan apa yang ditentukan konstitusi, bahwa pemilu dilaksanakan reguler lima tahunan. Jimly Asshiddiqie melihat perkembangan terakhir mengenai hal-hal prinsip seperti tahapan pemilu yang dimulai pada 1 Agustus 2022,  hari pemungutan suara pada 14 Februari 2022, dan pelantikan presiden pada 20 Oktober telah disepakati, hanya tinggal dituangkan dalam peraturan KPU. Maka jika secara logika dilihat dari sudut pandang hukum, peraturan sudah tidak dapat diubah kembali. KPU menurut undang-undang merupakan lembaga nasional yang bersifat tetap dan mandiri, termasuk mengenai kewenangan regulasinya yang juga mandiri. Oleh karenanya, Jimly ingin meyakinkan kepada semua kalangan bahwa sudah tidak akan ada lagi perubahan mengenai jadwal pemilu. Sementara Dila Farhani Nurrahman menyatakan terdapat beberapa hal yang menjadi kajian JPPR dalam menanggapi isu terkait penetapan jadwal pemilu, meskipun secara sah belum diketuk. Jadwal pelaksanaan pemilu menjadi gerbang awal untuk mekanisme pelaksanaan tahapan selanjutnya. Terjadi perdebatan penentuan jadwal pelaksanaan pemilu antara pemerintah dan KPU, dimana KPU telah membuat rancangan pelaksanaan hari pemungutan suara Pemilu Tahun 2024 adalah tanggal 21 Februari, sedangkan pemerintah mengusulkan tanggal 15 Mei 2021, dan akhirnya berujung pada keputusan akhir yaitu pemilu serentak akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Rasionalisasi KPU sebagai antisipasi karena ditahun yang sama dilaksanakan pemilihan serentak pada 27 November 2024 (terdapat jeda). Di sisi lain, usulan pemerintah didasarkan pada stabilitas politik dan polarisasi yang bisa mengganggu program pemerintah. Perdebatan ini tentu harus menemukan titik temu. JPPR menilai, penentuan titik temu jadwal tersebut sebagai bagian dari cerminan sifat kemandirian KPU. Dila melanjutkan, lantas bagaimana kepentingan masyarakat sipil dalam proses penentuan penyelenggaraan jadwal pemilu? Meskipun masyarakat sipil tidak menjadi bagian dalam proses penentuan penyelenggaraan jadwal pemilu, masyarakat tetap memiliki kepentingan karena berkaitan dengan hukum publik (konstitusi) yang harus dijunjung tinggi dan ditaati secara bersama oleh seluruh pihak. Peran serta masyarakat dalam mengawasi penyelenggaraan merupakan upaya untuk mewujudkan pemilu yang berintgrasi dan berkepastian hukum. (Humas KPU Kabupaten Bandung) Follow Us


Selengkapnya
53

TITIK SINGGUNG PERADILAN ETIK DAN PERADILAN ADMINISTRASI

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Titik singgung putusan peradilan etik dengan putusan peradilan administrasi menjadi tema yang yang diangkat dalam forum reguler Diskusi Reboan seri ke-25 yang diselenggarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung secara daring, pada Rabu, 9 Maret 2022. Narasumber pada diskusi kali ini diisi oleh Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, Prof. Dr. H. Supandi, SH., M.Hum., Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Prof. Dr. Muhammad, S.IP., M.Si., dan Anggota KPU Provinsi Jawa Barat, Dr. H. Idham Holik, SE., M.Si. Supandi menjelaskan sistem peradilan di Indonesia memiliki dua bentuk, satu di bawah Mahkamah Agung dan satu lagi di bawah Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem peradilan Mahkamah Agung terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam sistem peradilan di Indonesia memungkinkan pembentukan peradilan khusus. Akan tetapi menurut Prof. Bagir Manan, perlu hati-hati melahirkan peradilan khusus, karena jika tidak cermat kajiannya justru akan menghasilkan atau mengacaukan sistem peradilan Indonesia. Peradilan Etik susungguhnya lembaga pengawal profesionalisme dan kode etik profesi. Sifat dari putusan peradilan etik final dan mengikat serta berisi rekomendasi kepada instansi/pejabat yang berwenang melakukan tindakan administrasi pemerintah. Sifat pemeriksaannya yaitu: (1) Mencari apa yang salah di dalam sistem kerja profesi yang bersangkutan; (2) Mengembangkan budaya lapor (just culture dalam dunia penerbangan) dan yang mengungkap penyebab kecelakaan diberi penghargaan, selanjutnya disosialisasikan secara luas agar kesalahan yang sama dalam profesi itu tidak terulang lagi; dan (3) Hal-hal yang mengarah penindakan pidana sebagai ultimum remedium. Supandi menambahkan, hasil dari peradilan etik yakni putusan atau rekomendasi yang ditindaklanjuti dengan keputusan pejabat/instansi yang berwenang. Keputusan tersebut bisa menjadi objek gugatan di PTUN, namun harus menempuh upaya administratif yang tersedia terlebih dahulu. Muhammad menyampaikan materinya dari sisi pengalaman DKPP. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah satu kesatuan sebagai penyelenggara, DKPP bukan lembaga peradilan. KPU konsen dalam tata Kelola pemilu, Bawaslu mempersiapkan pengawasannya, kemudian DKPP mempersiapkan kode etik/kode perilakunya. Berdasarkan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, fungsi DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan aduan atau laporan adanya dugaan pelanggaraan kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, angggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. Muhammad mengatakan bahwa ini sangat jelas DKPP dibentuk hanya untuk memeriksa aduan, laporan, serta dugaan. Singkatnya jika tidak ada aduan DKPP tidak bekerja. Kami sikapnya pasif menunggu laporan. DKPP hanya memeriksa pelanggaran kode etik. Jika ada pelanggaran etik dijajaran penyelenggara ad hoc, kami serahkan kepada KPU dan Bawaslu. DKKP dalam tugasnya menerima aduan atau laporan adanya pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu serta melakukan penyelidikan dan verifikasi, pemerikasaan atas pengaduan kode etik tersebut. Sistem penengakan kode etik tujuannya untuk kemandirian, integritas dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Sifat putusannya final dan mengikat, serta putusan DKPP bukan objek sengketa PTUN. Sementara itu Idham Holik berkesempatan menanggapi diskusi kali ini. Ketika berbicara tema titik singgung putusan peradilan etik dengan putusan peradilan administrasi, maka hal yang paling penting adalah tidak hanya kesadaran etis, tetapi dapat melaksanakan prinsip-prinsip etik dalam proses penyelenggaraan pemilu. Lebih lanjut Idham menyinggung perihal prinsip hukum. Dalam undang-undang pemilu, penyelenggaraan pemilu mengadopsi kepastian hukum. Demokrasi yang baik tidak hanya demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat, tetapi juga berdasarkan kedaulatan hukum atau yang kita kenal dengan prisip supermasi hukum. Idham mengingakan kepada penyelenggara pemilu agar meningkatkan literasi hukum dan literasi etik. Keduanya seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Jika kita tidak memiliki literasi hukum, maka kita akan lemah dan bahkan mengarah pada pelanggaran-pelanggaran. Dalam negara demokrasi sangat penting menganut prinsip hukum, dan sebagai penyelenggara pemilu penting menerapkan prinsip hukum dan prinsip etis. Dikdik Somantri, SH.,SIP.,MH selaku salah satu Hakim PTUN Bandung, turut menanggapi jalannya diskusi. Dalam konteks negara hukum, PTUN adalah salah satu unsur yang terpenting. Ini bagian dari lembaga yudikatif di bawah Mahkamah Agung. Esensinya harus seiring sejalan antara hukum dan keadilan. Dalam hal ketika keputusan DKPP menjadi proses terbitnya objek yang diperiksa PTUN, maka sudah menjadi kewajiban PTUN untuk mengujinya. Di sini dalam proses penilaian ada pembuktian, tetapi menjadi kewenangan hakim terkait keputusan DKPP tersebut sejauh mana dapat diproses. Kemudian upaya hukum yang bisa ditempuh apakah sudah sesuai? Itu adalah ranah upaya hukum banding. Berbicara mengenai penyelenggaraan pemilu, ini tidak lepas dari administratif, hukum, dan politik serta kewajiban kita untuk menjaganya tetap kondusif dan tertib secara hukum. (Hupmas KPU Kabupaten Bandung) Follow Us


Selengkapnya
47

KOMPLEKSITAS DAN STRATEGI PENDIDIKAN PEMILIH PEMILU 2024

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Menjelang pelaksanaan tahapan Pemilu Tahun 2024 yang akan diselenggarakan dalam beberapa bulan ke depan, KPU Provinsi Sulawesi Tengah mengadakan dialog virtual dengan mengangkat tema “Tantangan Kompleksitas Pemilu 2024 dan Strategi Pendidikan Pemilu.” Acara ini dilaksanakan pada Selasa, 8 Maret 2022 dan diikuti oleh KPU Provinsi serta KPU Kabupaten/Kota se-Indonesia. Bertindak sebagai narasumber pada kesempatan kali ini adalah Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Anggota KPU Provinsi Jawa Barat, Idham Holik, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah, Sahran Raden, serta Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Dzuriyatun Toyiban. Dewa mengatakan bahwa masyarakat perlu mendapat kepastian hukum mengenai hari dan tanggal pemungutan suara yang telah ditetapkan. Hari pemungutan suara pemilu telah ditetapkan pada tanggal 14 Februari 2024. Berdasarkan penilaian risiko tahapan, didapati kesimpulan bahwa pelaksanaan Pemilu Tahun 2024 pada bulan Februari memiliki tingkat risiko yang lebih rendah apabila dilaksanakan secara serentak dengan Pemilihan Tahun 2024. Saat ini KPU sedang melakukan proses kodefikasi untuk konsepsi mengenai tingkat partisipasi masyarakat dalam kaitannya dengan program sosialisasi dan pendidikan pemilih. Dewa melanjutkan bahwa setidaknya terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan pada Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024. Diantaranya disinformasi dan informasi hoaks, dimana istilah tersebut mengacu pada informasi atau data palsu yang sengaja disebarkan untuk untuk membentuk opini baru tentang suatu hal. Dalam konteks pemilu, disinformasi dan  berita hoaks biasanya digunakan untuk mengarahkan pemilih agar menyukai atau membenci kelompok/sosok tertentu. Hal ini perlu ditanggulangi karena dapat menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat dan menjadikan pemilu tidak lagi sebuah kompetisi yang sportif. Selain itu, politik transaksional juga menjadi salah satu tantangan, dimana terjadinya tukar menukar barang dan/atau jasa antara politikus dengan konstituen yang diwakili ataupun dengan partai politik untuk mendapatkan dukungan maupun konsensus bersama. Implikasinya dapat menyebabkan biaya politik yang tinggi, meningkatnya korupsi, kolusi dan nepotisme serta kesengsaraan rakyat dikarenakan orientasi penguasa bukan pada kesejahteraan rakyat. Politik identitas mengacu pada cara berpolitik yang menjadikan identitas ras, agama, etnis, sosial atau budaya tertentu sebagai alat untuk mencapai kepentingan atau tujuan tertentu juga seringkali menjadi penyebab utama munculnya konflik sosial di tengah masyarakat, terutama pada masa pemilu dan pemilihan. Adanya ancaman golongan putih (golput), meskipun golput juga merupakan sebuah bentuk sikap politik pemilih, namun sedapat mungkin hal tersebut dapat ditekan seminimnya. Tingginya tingkat golput menunjukkan protes/ketidaksetujuan pemilih terhadap sistem politik yang ada. Bahkan dapat juga berarti ketidakpercayaan pemilih terhadap penyelenggara pemilu. Oleh karena itu harus dihindari agar hasil pemilu mendapatkan legitimasi dari pemilih dan rakyat secara keseluruhan. Aspek penyelenggaraan, badan ad hoc, logistik, pemutakhiran data pemilih, anggaran, serta sarana dan prasarana menjadi kompleksitas tersendiri bagi penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024.   Idham Holik berpendapat, seringkali masih terdapat partisipasi yang dimobilisasi pada penyelenggaraan pemilu maupun pemilihan, yang mana hal tersebut menjadi salah satu tantangan, sementara partisipasi merupakan kunci keberhasilan dari demokrasi elektoral. Pendidikan pemilih merupakan civic responsibility. Disebut demikian karena dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tertera secara eksplisit tentang mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga KPU sebagai penyeleggara pemilu juga memiliki kewajiban mencerdaskan pemilih. Pendidikan pemilih sendiri dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan Pedagogi, dimana dalam konteks demokrasi elektoral, pendidikan pemilih harus bisa mengaktivasi atau mengembalikan kesadaran eksistensial yang ter-representasi dalam kemerdekaan berpartisipasi pemilih. Berikutnya adalah pendekatan Andragogi, yaitu dengan metode dan praktik pembelajaran orang dewasa, dimana peserta didik diarahkan agar dapat memecahkan permasalahan (problem-solving oriented) yang dihadapinya. Selanjutnya yaitu pendekatan Heutagogi, yaitu studi tentang pembelajaran mandiri yang mengembangkan pendekatan holistic untuk mengembangkan kemampuan peserta didik, dengan menempatkan peserta didik sebagai agen utama dalam pembelajaran. Strategi sosialisasi dan pendidikan juga dapat dilakukan dengan cara berkomunikasi langsung, komunikasi melalui media, kolaborasi dengan stakeholder, serta merekrut relawan berbasiskan komunitas pemilih. Idham menambahkan bahwa efek sosialisasi dan pendidikan pemilih yang efektif biasanya ditandai dengan perubahan perilaku pemilih dari perilaku yang dikuasai oleh virus elektoral menjadi perilaku elektoral yang sehat. Sahran Raden mengemukakan yang menjadi permasalahan dalam partisipasi dan pendidikan pemilih yakni kurangnya kesadaran politik masyarakat menjadi pemilih yang mandiri dan rasional (berdaulat), terjadinya dinamika tingkat partisipasi pemilih, maraknya praktik politik uang, hoaks dan politik identitas yang sering terjadi menjelang pemilu dan pemilihan, inflasi kualitas partisipasi dan literasi politik terbatas, serta voluntarisme masyarakat sipil meredup. Partisipasi pemilih juga dapat dipengaruhi oleh faktor internal seperti adanya keraguan pemilh terhadap kemanfaatan yang diterima dari pemilihan, aspek kesibukan pekerjaan dan aspek ketidakpedulian atau kurangnya kecerdasan. Selain itu dipengaruhi juga oleh faktor eksternal, yakni aspek teknis penyelenggaraan, administrasi kependudukan, politik dan aspek pandemi Covid-19. Dzuriyatun melihat dengan adanya partisipasi politik dan pendidikan pemilih perempuan dapat meningkatkan kualitas pemilu dari perspektif keadilan dan kesetaraan gender, serta dapat meningkatkan kualitas pemilih perempuan. Peningkatan kualitas ini dapat dilihat melalui beberapa parameter, diantaranya pemilih perempuan yang rasional, perempuan yang anti hoaks, anti money politics, menolak untuk dimobilisasi, partisipasi perempuan secara rasional dan sukarela. Pendidikan pemilih merupakan bagian dari upaya meningkatkan partisipasi politik  untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Pendidikan tersebut merupakan aktivitas yang berkesinambungan, tidak sekedar sosialisasi prosedur demokrasi, tetapi juga substansi dari demokrasi. (Humas KPU Kabupaten Bandung) Follow Us


Selengkapnya
56

PERILAKU PEMILIH DAN SOSIALISASI

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – KPU Kabupaten Bandung mengikuti webinar BICARA (Bincang Cerdas Demokrasi) seri 27 yang digelar oleh KPU Kota Sukabumi pada Jumat, 4 Maret 2022. Webinar kali ini mengangkat tema tentang Perilaku Pemilih dan Sosialisasi KPU dalam Peningkatan Partisipasi Pemilih pada Pemilu 2024. Pembicara pada kesempatan ini terdiri dari Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah, Sahran Raden, dan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Pramita.  Ketua KPU Kota Sukabumi, Tri Utami, mengatakan bahwa ketiga poin dalam tema yang diusung kali ini mempunyai kerekaitan satu sama lain. Jika dilihat dari sisi dimensi tugas pokok dan fungsi KPU, terutama perilaku pemilih, yang berarti tugas dan fungsi KPU dalam melakukan pendidikan pemilih berkelanjutan bertujuan untuk memberikan bekal kognisi yang memadai tentang pendidikan politik. Tugas tersebut bertujuan menumbuhkan kesadaran dan pemahanam dari calon pemilih untuk memenuhi peran kewarganegaraan dalam menyukseskan pesta demokrasi, sehingga diharapkan dapat membentuk perilaku pemilih yang rasional. Anggota KPU Kota Sukabumi, Ratna Istianah, menyampaikan bahwa sebagai penyelenggara, tentunya pengalaman yang telah didapatkan pada pemilu dan pemilihan sebelumnya dapat dijadikan acuan dan gambaran untuk pelaksanaan pemilu yang akan datang. Tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya berkaitan dengan perilaku pemilih dan sosilisasi yang dilakukan oleh KPU, karena KPU sebagai aktor komunikasi publik. Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi pemilih yakni dengan pendekatan psikologis, pendekatan sosiologis, dan pendekatan rasional. Sahran Raden menyebutkan terdapat 2 aspek yang mempengaruhi partisipasi pemilih dalam pemilu, yaitu sistem pemilu (electoral system/laws), instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara ke dalam kursi yang dimenangkan oleh partai atau calon, dan proses pemilu (electoral process) terkait dengan pilihan elemen teknis pemilu, seperti besaran daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara dan metode penghitungan suara. Tingkat partisipasi di Indonesia selalu memiliki fluktuasi, hal tersebut terjadi karena dipengaruhi paling tidak oleh 2 faktor yang menjadi problem dalam partisipasi pemilih, yakni pengaruh politik terkait dengan kinerja partai politik, lembaga legislatif, pejabat publik, jalannya pemerintahan serta dampak kebijakan dan faktor teknis yang merupakan tugas KPU dalam melaksanakan pelayanan pemutakhiran data pemilih, pelayanan di TPS, pelaksanaan kampanye dan sosialisasi. Perilaku Pemilih menurut paradigma the Columbia study terbagi menjadi 3 karakter, yakni yang pertama adalah karakter sosiologi dimana preferensi memilihnya menempel pada diri individu berupa nilai agama, kelas sosial, etnis, daerah dan tradisi keluarga. Kedua adalah karakteristik psikologis, adanya keterikatan psikologi yang membentuk orientasi politik seseorang dengan kandidat dan partai politik serta pilihan rasional (rational choice). Ketiga adalah pemilih yang memilih karena alasan visi, misi dan program. Biasanya pemilih rasional mengevaluasi terlebih dahulu mengenai latar belakang calon. Ketiga karakter tersebut mempengaruhi terhadap proses sosialisasi. Sahran melanjutkan, seperti apa strategi sosialisasi dan pendidikan pemilih elektoral Indonesia di Tahun 2024? Terdapat 3 pilar dalam pemilu, yaitu penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan masyarakat. Dari ketiga pilar tersebut dapat dilihat bagaimana isu-isu problematika pemilu di Indonesia, seperti halnya hukum pemilu, politik uang, politik transaksional, hoaks kepemiluan serta daerah pemilihan dan kampanye. Sehingga yang menjadi tugas KPU adalah mendorong pemilu berkualitas, demokratis, jujur dan adil, bebas, inklusif serta partisipatif. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam demokrasi salah satunya melalui program sosialisasi dan pendidikan pemilih serta mengidentifikasi isu krusial untuk menghadirkan ide, pemikiran dan masukan bagi negara sekaligus berfungsi sebagai kontrol sosial bagi reformasi elektoral Indonesia. Sementara menurut Nurlia Dian Paramita, perilaku pemilih penting dilakukan untuk mengukur polularitas, mengidentifikas dan pengukuran dukungan, untuk identifikasi isu strategis dan taktis, identifikasi dan pengukuran strategic/intermediary channel (simpul voters), identifikasi dan pengukuran medium kampanye (media placement), daya guna saluran informasi nonformal, memahami kekuatan dan kekurangan competitor, serta sebagai gambaran strategi kampanye. Identifikasi pemilih sendiri dapat dimulai dari administrasi pemerintahan, letak demografi, pendidikan, jenis kelamin, usia dan lainnya untuk mengukur seperti apa afiliasinya. (Humas KPU Kabupaten Bandung) Follow Us


Selengkapnya
86

MEKANISME PENGISIAN PENJABAT KEPALA DAERAH

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Penggantian Kepala Daerah 2022-2023 menuju Pemilu 2024 merupakan tema yang diangkat pada acara dialog publik oleh Magister Ilmu Politik (MIPOL) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bekerjasama dengan Institute For Politics, Peaces and Security Studies (IPPSS). Tema tersebut dipilih berkaitan dengan dinamika politik keamanan dan efektifitas Pemerintah Daerah. Kegiatan diselenggarakan bertempat di Hotel GranDhika Iskandarsyah Jakarta pada Rabu, 2 Februari 2022 yang dilakukan secara hybrid. Bertindak sebagai narasumber pada kesempatan ini adalah Ketua KPU, Ilham Saputra, Kasubdit Wilayah IV Dit. FDKH dan DPRD Kemendagri, L. Saydiman Marto, Anggota DPD, Fahira Idris, serta Dosen MIPOL UMJ, Sri Yunanto. Asep Setiawan selaku Kepala Program Studi MIPOL FISIP UMJ, menyatakan bahwa topik ini penting untuk diangkat, mengingat Indonesia akan mengalami pergantian kepemimpinan nasional ditahun 2024. Namun menjelang perhelatan demokrasi tersebut, di tahun 2022 dan 2023 akan terjadi pergantian kepala daerah yang jumlahnya mencapai 271 kepala daerah dari 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Sementara yang menjadi persoalan adalah Pilkada serentak baru akan diselenggarakan pada 2024. oleh karenanya Indonesia akan menghadapi beberapa persoalan mengenai bagaimana mekanisme pergantian kepela daerah itu sendiri, proses politiknya, maupun keterwakilan para pejabat sementara apabila ada penunjukan. Kondisi ini menjadi sebuah tantangan bagi bangsa Indonesia yang telah berkomitmen melaksanakan demokrasi dengan pemilihan secara langsung. L. Saydiman Marto menyebutkan bahwa sesuai Pasal 130 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, Penjabat Kepala Daerah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat dan kriteria. Adapun yang dapat menempatinya ialah Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya, seperti sekretaris jenderal kementrian dan jabatan lain yang setara untuk Penjabat (Pj) Gubernur, JPT Pratama untuk Pj. Bupati/Walikota. Pengusulan dan penetapan Pj. Gubernur dilakukan oleh Mendagri dengan menyaring pejabat sesuai kriteria dan persyaratan. Selanjutnya menyiapkan dan menyampaikan 3 nama calon Pj. Gubernur kepada Presiden. Usulan tersebut menjadi bahan pertimbangan Presiden untuk menetapkan Pj. Gubernur, yang kemudian diterbitkan Keputusan Presiden. Namun dalam kondisi tertentu, Presiden dapat menentapkan Pj. Gubernur di luar usulan yang disampaikan oleh Mendagri. Sementara pengusulan dan penetapan Pj. Bupati/Walikota dilakukan oleh Gubernur dan diserahkan kepada Mendagri. Saydiman menambahkan, bahwa Pj. Kepala daerah (KDH) mempunyai tugas dan kewenangan yang sama dengan KDH sesuai yang tertuang pada Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Akan tetapi terdapat pembatasan kewenangan Pj. KDH karena keberadaannya berdasarkan penunjukan, bukan hasil dari pemilihan. Adapun pembatasan kewenangan Pj. KDH sesuai yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Momor 49 Tahun 2008 yakni: (1) tidak boleh melakukan mutasi pegawai; (2) tidak membatalkan perjanjian yang telah dikeluarkan pejabat sebellumnya dan/atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan oleh pejabat sebelumnya; (3) tidak membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; serta (4) tidak membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya. Namun demikian, pembatasan kewenangan tersebut dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan  tertulis dari Mendagri. Fahira Idris menyampaikan bahwa berbicara tentang Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 merupakan sebuah transisi dan kebijakan politik hukum nasional. Hampir setengah wilayah Indonesia akan dipimpin kepala daerah yang bukan dipilih langsung oleh rakyat sampai dengan terpilihnya kembali kepala daerah baru hasil Pilkada 2024. Hal ini menjadi persoalan yang krusial, setidaknya meliputi: (1) banyaknya daerah yang akan dipimpin oleh kepala daerah yang bukan dari hasil pemilihan langsung oleh rakyat. Sesuai dengan ketentuan undang-undang, para Pj. tersebut  mempunyai kewenangan seperti kepala daerah hasil Pilkada, namun Pj. tidak akan pernah mempunyai legitimasi politik yang kuat terutama di mata masyarakat sebagaimana kepala daerah yang dipilih oleh rakyat secara langsung; (2) panjangnya durasi yang dijabat para Pj., yaitu satu sampai lebih dari dua tahun; (3) menghadapi agenda nasional Pemilu dan Pemilihan 2024; (4) ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengisi Pj. kepala daerah; (5) polemik rujukan utama aturan pegisian Pj., yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, dan boleh tidaknya TNI/Polri menjadi Pj.; serta (5) adanya tantangan kompleks apabila pandemi belum berakhir. Tata kelola pemerintahan yang baik dimulai dari proses demokrasi. Indonesia sebagai negara demokrasi telah menerapkan sistem desentralisasi dan otonomi daerah. Tata kelola pemerintahan yang baik dimulai dari proses demokrasi, yang artinya penunjukan 272 kepala daerah ini, terutama dalam durasi yang cukup panjang, dinilai jauh dari prinsip demokrasi dan otonom. Sementara itu, Ilham Saputra menyampaikan bahwa KPU telah menyusun strategi dalam mepersiapkan tahapan, diantaranya dengan memperkuat jaringan kerja sama antar lembaga dan instansi, memperkuat penggunaan teknologi informasi dalam setiap tahapan pemilu dan pemilihan, menyusun tahapan pemilu dan pemilihan dengan memerhatikan implikasi tahapan yang beririsan, mengoptimalkan kapasitas dan manajemen SDM, juga mengoptimalkan anggaran di setiap tahapannya. Adapun yang menjadi tantangan pada Pemilu dan Pemilihan 2024 adalah beban kerja penyelenggara menjadi lebih berat. Kemudian tahun 2024 akan kembali menjadi tahun politik, masyarakat akan terkelompok secara politik, “perang” media dan informasi, serta kemungkinan akan marak informasi hoaks melalui media sosial, perlu diantisipasi melalui adanya upaya masif untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Ilham menyebutkan, dalam menghadapi perhelatan tahun 2024, sampai saat ini KPU memiliki anggota dan penyelenggara ad hoc sekitar 7 juta orang. Sedangkan untuk ASN sekretariat KPU sebanyak sekitar 14 ribu personel. KPU juga terus melakukan pemutakhiran data berkelanjutan untuk memperbarui data pemilih berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari pemilu atau pemilihan terakhir serta hasil dari kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Di samping itu KPU juga telah mengembangkan sistem informasi yang digunakan dalam mendukung tahapan pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan 2024. Sementara dari sisi logistik, yang menjadi tolok ukur keberhasilannya adalah logistik harus tepat jenis, tepat jumlah, tepat kualitas, tepat waktu dan tepat sasaran yang tidak terlepas dari tantangannya. Dari perspektif akademis, Sri Yunanto mengungkapkan bahwa untuk mengganti satu pimpinan yang mempunyai legitimasi politik tinggi, maka diperlukan dialog dengan yang memiliki legitimasi politik tersbut, seperti halnya partai politik. Pj. KDH harus mempunyai dasar legitimasi politik yang tinggi, sehingga legitimasi politik yang baik dapat diterima oleh semua pihak, dimana  akan memberikan satu implikasi keamanan. Sri menambahkan, apabila telah dilakukan deklarasi bersama di depan publik mengenai kesepakatan tersebut, maka secara administratif, secara hukum, dan secara politik, dapat menyelesaikan implikasi ekonomi. (Humas KPU Kabupaten Bandung) Follow Us


Selengkapnya