
PENDIDIKAN PEMILIH UNTUK DEMOKRASI HUMANIS
Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Knowledge Sharing secara daring dengan tema Strategi Pendidikan Pemilih Untuk Demokrasi Humanis Pada Pemilu dan Pemilihan 2024 diselenggarakan atas kolaborasi antara KPU Provinsi Sulawesi Tengah, KPU Kabupaten Poso, dan KPU Provinsi Jawa Barat pada Kamis (5 Agustus 2021). Sebagaimana diketahui bersama bahwa Pemilu 2019 serta Pemilihan Serentak 2020 telah selesai dilaksanakan dengan berjalan lancar dan aman, kesuksesan dalam dua pesta demokrasi itu karena dilaksanakan dengan baik dan berkualitas. Salah satu capaian kesuksesan adanya peningkatan partisipasi pemilih. Hal ini tidak lepas dengan upaya pendidikan pemilih dengan berbagai meode yang masif untuk masyarakat. Pada kesempatan ini KPU Kabupaten Poso ingin mendapatkan banyak pengalaman dari KPU Provinsi Jawa Barat sebagai wilayah yang secara geografis dan jumlah penduduk yang terbesar. Mudah-mudahan forum ini dapat bermanfaat untuk semua pihak dan tidak berhenti hanya sampai disini, ungkap Ketua KPU Kabupaten Poso, Budiman Maliki, dalam sambutannya.
Anggota KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, menjadi narasumber pada kesempatan ini yang menyampaikan bahwa humanisme dalam berpendidikan itu atau pendidikan yang mengutamakan memanusiakan manusia. Sebagai subjek dalam pendidikan itu sebetulnya sebuah konsep yang telah berkembang dan banyak tokoh yang menganut aliran pemikiran atau filsafat humanisme. Dalam konstitusi kita, ada dalam sila Pancasila. Dilihat dari doktrin, konsep atau pemikiran tokoh-tokoh tersebut, kita dapat merefleksikan kembali bahwa pendidikan pemilih dalam konteks demokrasi di Indonesia, demokrasi elektoral dalam rangka penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan, selain mengacu kepada ketentuan perundang-undangan, maka resep dasar tentang pentingnya sosilasialisasi Pendidikan pemilih yang memberikan penghormatan kepada harkat dan manusia sebagai subjek dalam proses pendidikan pemilih itu sendiri dan dalam proses demokrasi kita ke depan menjadi sangatlah penting.
Di dalam ketentuan regulasi yang ada, pada prinsipnya pendidikan pemilih itu adalah proses penyampaian informasi kepada pemilih untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran pemilih tentang Pemilu. Indikator pendukung demokrasi humanis yang telah dilakukan KPU RI diantaranya: (1) Akses keterbukaan informasi terkait kelembagaan dan kepemiluan yang telah dilakukan melalui laman dan media sosial KPU; (2) Aktif mengajak pemangku kepentingan untuk turut aktif dalam kegiatan-kegiatan pendidikan pemilih; (3) Pendekatan langsung maupun tidak langsung dengan seluruh elemen masyarakat pada setiap kegiatan; (4) Supervisi dan monitoring kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih pada daerah partisipasi rendah, potensi pelanggaran Pemilu tinggi, dan daerah rawan konflik/bencana alam secara berkelanjutan; (5) Menyentuh para pemilih di era digital dengan memberikan giveaway, menjawab pertanyaan yang dilayangkan di media sosial hingga membuat aplikasi rumah pintar pemilu (RPP) digital untuk mendekatkan pemilih; (6) Melawan hoaks, disinformasi, ujaran kebencian dengan memberikan informasi yang valid dan humanis lewat media sosila, Pejabat Pengelola Dokumentasi dan Informasi (PPID), pernyataan pimpinan, dan lain-lain, terang Dewa.
Anggota KPU Provinsi Jawa Barat, Idham Holik, menjadi narasumber berikutnya dan turut menyampaikan paparannya. Dengan tema ini Idham ingin mencoba mempertegas tentang konsep demokrasi elektoral humanis yang menjadi tema utama kali ini. Seperti apa kata Mahatma Gandi mengenai pandangannya tentang humanisme: “Humanism is my religion” (humanisme adalah agamaku). Demokrasi humanis yang digagas oleh KPU Provinsi Sulawesi Tengah, jika melihat tentang lanskap politik elektoral dari Pemilu ke Pemilu, tentu kita dapat bersepakat bahwa politik yang menghalalkan berbagai cara dan itu sering terjadi Indonesia, dimana pemilih dijadikan objek. Kondisi ini merupakan situasi yang sangat paradoks dengan konsep demokrasi itu sendiri, kita ketahui bahwa konsep demokrasi menerangkan yang namanya landasan filosofis kontrak sosial, dalam konsep tersebut maka lahirlah sebuah kedaulatan, karena ketika orang ikut serta dalam Pemilu atau berpartisipasi dalam Pemilu, mereka sebenarnya sedang coba menawarkan/coba melakukan kontrak dengan antara yang dipilih dengan yang dipilih. Sehingga dalam definisi kampanye pada regulasi, kampanye adalah sarana pendidikan pemilih dengan cara menawarkan visi, misi dan program para peserta Pemilu. Karena esensinya Pemilu adalah kontrak sosial, maka pemilih harus dijadikan sebagai subjek politik agar dapat bertransformasi dengan baik menjadi subjek, bukan objek. Disinilah peran pentingnya sosialisasi pendidikan pemilih.
Lebih lanjut Idham menjelaskan tujuan sosialisasi pendidikan pemilih adalah mendaulatkan pemilihan politik. Strategi sosialisasi dan pendidikan pemilih yaitu dengan peningkatan kredibilitas komunikatif, yaitu hubungan penyelenggara dengan berbagai pihak, yang meliputi: (1) Komunikasi Langsung, tediri dari komunikasi tatap muka (face-to-face), pertemuan, khutbah, dan lain-lain, pengumuman keliling dengan loud speaker; canvassing atau door-to-door (mengunjungi rumah pemilih), obrolan sosial (ngawangkong) atau social talks; (2) Komunikasi Media. Seperti media sosial, portal atau blog page, berita, liputan khusus (features) atau talk show, media cetak seperti spanduk, poster, leaflet, banner, dan lain-lain (termasuk versi elektronik); (3) Kolaborasi (dengan stakeholders), mencakup pemerintah daerah, termasuk kecamatan dan desa/kelurahan. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) kepemiluan dan demokrasi, organisasi kemasyarakatan, termasuk RT/RW, organisasi kepemudaan dan mahasiswa, lembaga pendidikan (kampus, sekolah, dan pesantren serta majlis taklim), tokoh masyarakat dan adat-istiadat yang impartisan; (4) Voluntirisme Elektoral. Relawan berbasiskan komunitas pemilih dan medsoc endorsers; (5) Zone-Based Public Campaign (kampung demokrasi); dan (6) Edutaiment (Pendidikan berbasis Budaya Lokal).
Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah, Sahran Raden, menjadi narasumber penutup. Sahran menuturkan hakikatnya secara filosofis bahwa mengusung nilai-nilai apa yang kita sebut dengan kesejahteraan, keadilan, kesetaraan, partisipasi dan universalisme. Humanisme adalah sikap hidup yang demokratis dan etika yang menegaskan bahwa manusia memiliki hak dan tanggung jawab untuk memberikan makna dan bentuk kehidupan mereka sendiri. Humanisme berdiri untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi melalui etika yang didasarkan pada manusia dan nilai-nilai yang alami melalui kemampuan manusia. Pemilu dan Pemilihan yang humanis lebih pada layanan dan perlakuan yang menjunjung nilai-nilai keseimbangan dan keadilan. Asasnya adalah kedudukan yang sama di muka hukum, hasil akhirnya adalah peningkatan kualitas hidup disemua lini kehidupan.
Pemilu adalah sebuah kesempatan. Pemilu memberikan kesempatan untuk meningkatkan partisipasi dan mengubah persepsi publik atas kemampuan penyandang disabilitas. Yang hasilnya penyandang disabilitas dapat memiliki suara politik yang lebih kuat dan semakin diakui sebagai warga negara setara. Partisipasi politik merupakan upaya untuk mendorong perubahan yang fundamental (masa sekarang dan masa depan) untuk semua orang. Dalam menyongsong Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024 mendatang, beberapa hal yang perlu kita lakukan yaitu meningkatkan peran politik perempuan di kelembagaan politik (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif ), memperkuat afirmatif action, mendorong budgetting anggaran yang respon gender, dan menjadikan Pemilu akses dalam rencana strategis pembangunan yang humanis. Perlu disusun standar pelayanan minimal (SPM) yang terukur, serta perlu sosialisasi yang intensif tentang Pemilu yang inklusif, terang Sahran mengakhiri paparan. (Humas KPU Kabupaten Bandung)