MEMBANGUN KEPASTIAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN ADMINISTRASI PEMILU

 

Oleh: Yohanes Paulus Indartono

Kadiv. Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Bandung

 

 

Sebagai narasumber dalam kegiatan Sharing dan Edukasi Regulasi Kepemiluan (SERUU) di KPU Kabupaten Bandung yang bertajuk “Pola Penanganan dan Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilu dan Pemilihan”, saya memandang bahwa isu penyelesaian pelanggaran administrasi merupakan salah satu aspek krusial dalam menjaga integritas demokrasi elektoral di Indonesia. Pelanggaran administrasi sering kali menjadi pintu awal bagi munculnya ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu, karena berhubungan langsung dengan proses dan tata kelola pemilihan yang seharusnya transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

 

Berlandaskan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2024, mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi harus menegakkan asas-asas Pemilu yang meliputi langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). Selain itu, prinsip-prinsip pelaksanaan seperti kemandirian, profesionalitas, serta kepastian hukum menjadi fondasi penting agar keputusan yang dihasilkan memiliki legitimasi dan dapat ditegakkan secara efektif.

 

Perubahan signifikan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 104/PUU-XXIII/2025, yang menegaskan bahwa istilah “rekomendasi” Bawaslu tidak lagi sekadar bersifat anjuran, melainkan harus dimaknai sebagai “putusan”, merupakan langkah maju dalam memperkuat kepastian hukum. Sebab, selama ini perbedaan tafsir antara rekomendasi dan putusan menimbulkan kerancuan dalam tindak lanjut di lapangan. Dengan adanya putusan MK tersebut, lembaga pengawas memiliki dasar hukum yang lebih kuat untuk memastikan pelanggaran administrasi ditangani secara tuntas dan tidak berhenti pada level rekomendasi semata.

 

Dalam konteks lokal, seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung pada Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024, beberapa kasus pelanggaran administrasi memperlihatkan dinamika yang kompleks, mulai dari dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara, praktik money politics, hingga sengketa hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi dan PT TUN. Fenomena ini memperlihatkan bahwa sistem penegakan hukum pemilu masih membutuhkan sinkronisasi antarlembaga, baik antara KPU, Bawaslu, DKPP, maupun lembaga peradilan.

 

Dari perspektif akademik, upaya memperkuat penanganan pelanggaran administrasi tidak semata-mata berorientasi pada aspek penindakan, tetapi juga harus diimbangi dengan perbaikan regulasi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia penyelenggara. Pelatihan etik, literasi hukum elektoral, serta penguatan sistem dokumentasi dan pelaporan menjadi hal yang mutlak dilakukan agar asas keterbukaan dan akuntabilitas benar-benar terwujud.

 

Pada akhirnya, penyelesaian pelanggaran administrasi bukan sekadar urusan teknis kelembagaan, tetapi merupakan refleksi dari sejauh mana sistem demokrasi kita menghormati prinsip keadilan dan kepastian hukum. Setiap langkah kecil dalam memperbaiki mekanisme penyelesaian pelanggaran adalah investasi besar bagi terwujudnya pemilu yang berintegritas dan dipercaya oleh rakyat.

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 68 Kali.