WORKSHOP IDENTIFIKASI HOAKS SERTA SISTEM DEMOKRASI DAN KEPEMILUAN
Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Pada hari kedua workshop, Antony Lee, memaprkan materi mengenai teknik dan metode identifikasi berita bohong (hoax). Gangguan informasi diidentifikasikan ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu Mis-Informasi, adalah ketika informasi tidak benar disebarkan tanpa ada niat untuk mengecoh, membuat bingung, atau mengaburkan fakta. Dis-Informasi, yaitu ketika informasi tidak benar yang sengaja disebarkan dengan niat untuk membingungkan, mengaburkan dari fakta sebenarnya, serta Mal-Informasi, yakni informasi benar yang disebarkan untuk menyebabkan dampak negatif, seringkali terjadi ketika menyebarkan informasi yang merupakan rahasia negara. Ketika terjadi Mis-Informasi dan Dis-Informasi, maka muncullah yang disebut dengan hoaks, yang seringkali diartikan sebagai berita bohong atau informasi yang dimanipulasi untuk kepentingan tertentu dengan tidak sesuai dengan fakta dan sumber yang tidak dapat dipercaya. Karena kurangnya informasi dan pengetahuan, setelah hoaks ini beredar di masyarakat, justru menimbulkan dampak negatif yang akhirnya seolah-olah informasi tersebut benar adanya dan masif beredar dengan cepat di masyarakat. Informasi hoaks ini dapat menggiring opini publik, padahal sejatinya tidak benar. Tujuannya beragam, diantaranya sebagai lelucon, provokasi, untuk sebuah keuntungan semata, keberpihakan pada seseorang atau kelompok, membawa pengaruh politik, bahkan propaganda menggiring opini agar dapat mempengaruhi pendapat orang lain sesuai yang diinginkan pembuat informasi.
Bagaimana cara menangkal hoaks yang tepat agar tidak tersebar di masyarakat? Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan, yaitu: (1) Bersikap kritis dengan menyandingkan berita/informasi yang setipe/sejenis dari media terpercaya minimal 2 (dua) kali (double check); (2) Saring sebelum sharing, yaitu memeriksa kebenaran berita/informasi tersebut sebelum dibagikan kepada orang lain; (3) Memperkuat media literasi dengan menganalisa pesan yang disampaikan di media sosial/media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu pesan di media, meneliti siapa yang bertanggung jawab atau informasi yang dipublikasikan dan klik tombol report (laporkan) jika menemukan berita/informasi yang mencurigakan sebelum dishare lebih banyak orang.
Sesi terakhir, diisi oleh Muhadam Labolo, yang membahas mengenai Demokrasi, Pemilu dan Partisipasi. Ciri negara demokrasi yaitu adanya kebebasan dalam berpendapat. Rakyat aktif dalam politik dan pemerintahan dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan bersama, sehingga rakyat terlibat dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan. Terdapat beberapa poin yang menjadi dasar teoritik suskesnya demokrasi, yakni bahwa setiap warga negara berhak mendapat sumber informasi alternatif, berhak menyampaikan pendapat, semua orang dewasa berhak untuk memilih, wakil rakyat dipilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber dan jurdil), perlu adanya pengawasan secara konstitusional, serta setiap warga negara berhak untuk membentuk perkumpulan independen.
Demokrasi di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, artinya sistem demokrasi yang dijalankan di Indonesia didasarkan atas sila-sila Pancasila yang dilihat sebagai suatu keseluruhan yang utuh, serta menjadikan UUD 1945 sebagai aturan main dalam kehidupan bernegara. Dalam Demokrasi Pancasila, setiap keputusan diambil dengan jalan musyawarah untuk mufakat. Musyawarah tidak didasarkan atas kekuasaan mayoritas atau minoritas, tetapi yang dihasilkan musyawarah itu sendiri. Jika tidak tercapai mufakat, maka keputusan ditempuh dengan cara pemungutan suara. Demokrasi Pancasila sendiri mengutamakan pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat dalam semangat kekeluargaan, mengutamakan kesetaraan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kepentingan pribadi dan sosial, serta lebih mengutamakan kepentingan dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Dalam Pemilu, partisipasi masyarakat memiliki peranan penting sebagai wujud tanggungjawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai tolak ukur tingkat pemahaman dan keterlibatan masyarakat dalam agenda kenegaraan. Sebagai indikator minat masyarakat dalam aktivitas politik. Sebagai salah satu indikator legitimasi dan kepercayaan masyarakat kepada pemimpin/wakil rakyat terpilih, baik di level lokal maupun nasional. Juga sebagai sarana menyalurkan aspirasi dan kepentingan warga negara. Namun jika dikaitkan dengan masyarakat desa, kemungkinan adanya permasalahan mengenai daya tolak partisipasi politik juga dapat terjadi apabila tidak adanya perubahan konkrit dari kandidat, rendahnya kesadaran politik masyarakat, serta minimnya daya tarik. baik materil maupun non materil. (Humas KPU Kabupaten Bandung)