TITIK SINGGUNG PERADILAN ETIK DAN PERADILAN ADMINISTRASI

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Titik singgung putusan peradilan etik dengan putusan peradilan administrasi menjadi tema yang yang diangkat dalam forum reguler Diskusi Reboan seri ke-25 yang diselenggarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung secara daring, pada Rabu, 9 Maret 2022. Narasumber pada diskusi kali ini diisi oleh Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, Prof. Dr. H. Supandi, SH., M.Hum., Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Prof. Dr. Muhammad, S.IP., M.Si., dan Anggota KPU Provinsi Jawa Barat, Dr. H. Idham Holik, SE., M.Si.

Supandi menjelaskan sistem peradilan di Indonesia memiliki dua bentuk, satu di bawah Mahkamah Agung dan satu lagi di bawah Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem peradilan Mahkamah Agung terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam sistem peradilan di Indonesia memungkinkan pembentukan peradilan khusus. Akan tetapi menurut Prof. Bagir Manan, perlu hati-hati melahirkan peradilan khusus, karena jika tidak cermat kajiannya justru akan menghasilkan atau mengacaukan sistem peradilan Indonesia.

Peradilan Etik susungguhnya lembaga pengawal profesionalisme dan kode etik profesi. Sifat dari putusan peradilan etik final dan mengikat serta berisi rekomendasi kepada instansi/pejabat yang berwenang melakukan tindakan administrasi pemerintah. Sifat pemeriksaannya yaitu: (1) Mencari apa yang salah di dalam sistem kerja profesi yang bersangkutan; (2) Mengembangkan budaya lapor (just culture dalam dunia penerbangan) dan yang mengungkap penyebab kecelakaan diberi penghargaan, selanjutnya disosialisasikan secara luas agar kesalahan yang sama dalam profesi itu tidak terulang lagi; dan (3) Hal-hal yang mengarah penindakan pidana sebagai ultimum remedium. Supandi menambahkan, hasil dari peradilan etik yakni putusan atau rekomendasi yang ditindaklanjuti dengan keputusan pejabat/instansi yang berwenang. Keputusan tersebut bisa menjadi objek gugatan di PTUN, namun harus menempuh upaya administratif yang tersedia terlebih dahulu.

Muhammad menyampaikan materinya dari sisi pengalaman DKPP. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah satu kesatuan sebagai penyelenggara, DKPP bukan lembaga peradilan. KPU konsen dalam tata Kelola pemilu, Bawaslu mempersiapkan pengawasannya, kemudian DKPP mempersiapkan kode etik/kode perilakunya. Berdasarkan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, fungsi DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan aduan atau laporan adanya dugaan pelanggaraan kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, angggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota.

Muhammad mengatakan bahwa ini sangat jelas DKPP dibentuk hanya untuk memeriksa aduan, laporan, serta dugaan. Singkatnya jika tidak ada aduan DKPP tidak bekerja. Kami sikapnya pasif menunggu laporan. DKPP hanya memeriksa pelanggaran kode etik. Jika ada pelanggaran etik dijajaran penyelenggara ad hoc, kami serahkan kepada KPU dan Bawaslu. DKKP dalam tugasnya menerima aduan atau laporan adanya pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu serta melakukan penyelidikan dan verifikasi, pemerikasaan atas pengaduan kode etik tersebut. Sistem penengakan kode etik tujuannya untuk kemandirian, integritas dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Sifat putusannya final dan mengikat, serta putusan DKPP bukan objek sengketa PTUN.

Sementara itu Idham Holik berkesempatan menanggapi diskusi kali ini. Ketika berbicara tema titik singgung putusan peradilan etik dengan putusan peradilan administrasi, maka hal yang paling penting adalah tidak hanya kesadaran etis, tetapi dapat melaksanakan prinsip-prinsip etik dalam proses penyelenggaraan pemilu. Lebih lanjut Idham menyinggung perihal prinsip hukum. Dalam undang-undang pemilu, penyelenggaraan pemilu mengadopsi kepastian hukum. Demokrasi yang baik tidak hanya demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat, tetapi juga berdasarkan kedaulatan hukum atau yang kita kenal dengan prisip supermasi hukum. Idham mengingakan kepada penyelenggara pemilu agar meningkatkan literasi hukum dan literasi etik. Keduanya seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Jika kita tidak memiliki literasi hukum, maka kita akan lemah dan bahkan mengarah pada pelanggaran-pelanggaran. Dalam negara demokrasi sangat penting menganut prinsip hukum, dan sebagai penyelenggara pemilu penting menerapkan prinsip hukum dan prinsip etis.

Dikdik Somantri, SH.,SIP.,MH selaku salah satu Hakim PTUN Bandung, turut menanggapi jalannya diskusi. Dalam konteks negara hukum, PTUN adalah salah satu unsur yang terpenting. Ini bagian dari lembaga yudikatif di bawah Mahkamah Agung. Esensinya harus seiring sejalan antara hukum dan keadilan. Dalam hal ketika keputusan DKPP menjadi proses terbitnya objek yang diperiksa PTUN, maka sudah menjadi kewajiban PTUN untuk mengujinya. Di sini dalam proses penilaian ada pembuktian, tetapi menjadi kewenangan hakim terkait keputusan DKPP tersebut sejauh mana dapat diproses. Kemudian upaya hukum yang bisa ditempuh apakah sudah sesuai? Itu adalah ranah upaya hukum banding. Berbicara mengenai penyelenggaraan pemilu, ini tidak lepas dari administratif, hukum, dan politik serta kewajiban kita untuk menjaganya tetap kondusif dan tertib secara hukum. (Hupmas KPU Kabupaten Bandung)

Follow Us

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 53 Kali.