SISTEM DAN TAHAPAN PEMILU DAN PEMILIHAN

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – KPU RI kembali menggelar kegiatan Webinar Berseri Program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) yang dilaksanakan pada Selasa (14/09/2021). Dalam Seri II kali ini, KPU mengambil tema Sistem dan Tahapan Pemilu dan Pemilihan. Webinar dibuka oleh Ketua KPU RI, Ilham Saputra. Dalam sambutannya, Ilham menyampaikan bahwa saat ini belum ada sistem pemilu ideal yang betul-betul baik bagi penyelenggara dalam sebuah negara demokratis, sehingga sistem kepemiluan sangat penting dan harus terus dikaji terkait dengan teknis pelaksanaannya. Pemilu tidak hanya bicara tentang sistem, tetapi juga bagaimana tahapannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem itu sendiri. Tahapan pemilu sendiri dirumuskan sebagai bentuk untuk mendesain, merencanakan, membantu dan mengontrol kegiatan dan aktivitas yang memudahkan penyelenggara dalam menjalankan tugasnya, dan peserta pemilu untuk terlibat dalam kontestasi di dalamnya. Ada tiga tahapan pemilu, yaitu tahapan pra pemilu, tahapan pemilu dan tahapan pasca pemilu yang masing-masing memiliki tantangan dan dinamika sendiri. Oleh karenanya tahapan ini harus betul-betul disiapkan sesuai peraturan perundang-undangan, dengan perhitungan yang akurat untuk setiap waktu dari tahapan itu sendiri.

Anggota KPU RI Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, memberikan pengantar sebelum kegiatan dimulai. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya KPU untuk meningkatkan sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada masyarakat. KPU telah melaksanakan serangkaian kegiatan terkait program DP3, dimana respon terhadap program ini sangat baik. Melalui webinar seri 2 ini, KPU akan terus berupaya menyampaikan regulasi dan kebijakan-kebijakan untuk penyempurnaan penyelenggaraan pemilu. Melalui upaya sosialisasi dan pendidikan pemilih lebih awal, diharapkan informasi-informasi kepemiluan dapat sampai ke daerah-daerah, sampai ke desa dan kampung, dimana sesungguhnya kehidupan sosial dan pemilih berada disana.

Mada Sukmajati, menjadi narasumber pertama yang menyampaikan pemaparannya mengenai sistem-sistem pemilu di Indonesia. Secara teoritik sistem pemilu di dunia menurut international IDEA dibagi menjadi empat rumpun besar, yaitu sistem Pluralitas/Mayoritas, Sistem Campuran, Sistem Proporsional dan sistem lainnya yang tidak dapat dimasukan ke dalam tiga kategori sebelumnya, yang mana disetiap rumpunnya terdapat beberapa varian lagi, dan salah satunya diadopsi dalam kepemiluan di Indonesia yang Ssbagian besar menggunakan sistem proporsional terbuka. Pemilu legislatif di Indonesia menggunakan sistem proporsional (daftar tertutup dan daftar terbuka). Pemilu di Indonesia sebetulnya masuk dalam kategori keluarga sistem pemilu yang banyak diakui dan dikembangkan diberbagai negara. Secara umum, tahapan pemilu terbagi menjadi tiga periode, yaitu Masa Pra-Pemilu, Masa Pemilu dan Masa Pasca-Pemilu, dimana banyak sekali aktivitas yang diselenggarakan pada masing-masing periode tersebut. Secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut, Masa Pra-Pemilu: terdiri dari Perencanaan, Pelatihan, Informasi dan Registrasi; Masa Pemilu: Nominasi, Kampanye, Pemungutan suara dan Hasil; Masa Pasca Pemilu: Strategi, Reformasi dan Kajian (audit dan evaluasi).

Narasumber kedua, Pramono Ubaid yang juga sebagai Anggota KPU RI, turut memberikan pemaparannya terkait rancangan desain tahapan Pemilu Tahun 2024 dan sistem pemilu seperti yang telah dibahas oleh narasumber sebelumnya, dimana unsur-unsur di dalamnya terdapat besaran daerah pemilihan, desain surat suara, formula konversi suara menjadi kursi dan ambang batas (parlemen dan pencalonan kepala pemerintahan eksekutif termasuk di dalamnya penjadwalan pemilu). Pramono menjelaskan bahwa sistem pemilu dan unsur-unsur pemilu mempunyai dampak politik, yaitu dampak mekanik yang mempengaruhi kursi dan dampak psikologis yang mempengaruhi suara.

Saat ini, KPU telah memiliki desain tahapan sementara, dimana untuk hari H Pemilihan 2024 dimulai pada 27 November 2024, sedangkan untuk hari H Pemilu 2024 dimulai pada 21 Februari 2024 yang jatuh pada hari Rabu dan tidak berlangsung di bulan puasa, juga tidak bersamaan dengan hari raya keagamaan. KPU menentukan hari Rabu karena adanya dampak yang diinginkan, salah satunya diharapkan pemilih terdorong untuk datang ke TPS dan tidak memilih untuk pergi liburan jika pemilu jatuh pada Senin atau Jumat. Kemudian untuk pencalonan Pemilihan 2024 didasarkan pada perolehan suara pada Pemilu 2024. Hasil perolehan suara Pemilu 2024 akan menentukan peta lokasi Pemilihan 2024.  Pramono menambahkan bahwa tahapan dimulai 25 bulan sebelum hari H, berbeda dengan tahapan-tahapan pada pemilu sebelumnya, kali ini persiapan dilakukan lebih lama karena KPU sudah mengetahui tantangan pada pemilu sebelumnya seperti apa, sehingga KPU ingin mempersiapkan lebih baik lagi. KPU menambahkan lima bulan masa persiapan yang disebut dengan pre-election period atau Masa Pra-Pemilu yang biasanya tidak dimasukan ke dalam tahapan, ujar Pramono.

Pimpinan Netfid Indonesia, Dahlia Umar, menjadi narasumber terakhir dalam kegiatan ini. Dalam pemaparannya Dahlia membahas tentang sistem pemilu dan implikasinya terhadap landskap politik Indonesia, dimana sistem pemerintahan presidensial dengan sistem pemilu proporsional dan multipartai ekstrem (PR) mengakibatkan tidak ada partai politik yang memenangkan pemilu secara mayoritas, sehingga harus membentuk koalisi. Koalisi yang terbentuk lebih bersifat pragmatis untuk tujuan power sharing tanpa pertimbangan ideologis/kompromi kebijakan. Koalisi mayoritas tunggal mengakumulasi kekuasaan secara kolektif, hampir tidak pernah ditemukan negosiasi dan kompromi kebijakan antar partai politik dalam isu tertentu, tetapi lebih pada bagaimana mendistribusikan alokasi kekuasaan dalam bentuk jabatan-jabatan di kementerian, mempengaruhi birokrasi, memperoleh posisi strategis seperti komisaris dan direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta sistem pemilu dengan PR terbuka disatu sisi melemahkan fungsi partai politik dalam arena berkontestasi, namun di sisi lain memperkuat oligarki partai politik dalam penentuan elit partai dan kandidat calon anggota legislatif. Ada personalisasi kepemilikan sebagian partai politik yang mempengaruhi dinamika sirkulasi kepemimpinan partai politik, sehingga tidak mengakar kepada konstituen.

Selain itu, Dahlia juga menyampaikan ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam pemutakhiran data pemilih dan penggunaan teknologi informasi pungut hitung di Indonesia, yaitu e-Rekap. Yang menjadi major Issues dalam aturan pendataan kependudukan dengan pemutakhiran data pemilih antara lain: (a) pemutakhiran data kependudukan bersifat aktif oleh penduduk sedangkan dalam pemutakhiran data pemilih penduduk lebih bersifat pasif; (b) penduduk tercatat dua kali atau tidak tercatat sama sekali karena berdomisili tidak sesuai dengan alamat KTP; dan (c) penduduk yang sudah meninggal/tidak lagi berdomisili masih tercatat di alamat asal dan tidak memperbarui data kependudukannya, sehingga tetap tercatat dalam DPT dan rawan disalahgunakan, ungkap Dahlia.

Kemudian penggunaan e-Rekap juga memiliki tantangannya tersendiri, dimana perangkat aturan dan desain penggunaan teknologi informasi yang diinginkan belum disepakati secara utuh dan dituangkan dalam aturan perundang-undangan. Sistem pemilu yang rumit dengan tenggat waktu pemungutan dan penghitungan suara di hari yang sama berpotensi menghasilkan pencatatan yang tidak lengkap/tidak akurat dalam berita acara. Pemilu 5 kotak menghasilkan lima berita acara yang membebani petugas penyelenggara, apalagi bila ditambah dengan menyusun berita acara khusus untuk untuk rekapitulasi secara elektronik. Pemilu 5 kotak bisa saja membutuhkan instrumen e-Rekap yang berbeda karena perbedaan sistem antara Pilpres, Pemilihan DPD, DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jaringan internet belum mencakup seluruh wilayah terutama di wilayah remote areas, dataran tinggi dan kepulauan, sehingga menyulitkan perekaman hasil melalui internet.

Dahlia juga membahas singkat mengenai partisipasi pemilih, yang mana kelemahan di Indonesia ini adalah bentuk partisipasi yang semakin mengecil dan melemah. Partisipasi politik merupakan aktivitas yang bertujuan untuk mepengaruhi cara kerja dan dampak dalam sebuah sistem politik. KPU sebenarnya dapat mengambil peran untuk meningkatkan kemampuan rakyat dalam menyampaikan opininya atau berpartisipasi secara luas, bukan terbatas hanya pemilu. Untuk itu dengan adanya program DP3 diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pemilih untuk menjadi pemilih yang bermartabat, pemilih cerdas yang paham dan mampu menggunakan hak-haknya secara aktif, pungkas Dahlia. (Humas KPU Kabupaten Bandung)

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 155 Kali.