
PENCEGAHAN POLITIK UANG PADA PEMILU DAN PEMILIHAN
Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Selasa (5/10/2021), KPU RI Kembali melanjutkan kegiatan webinar Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) yang memasuki seri ke-4. Tema yang diangkat adalah Pendidikan Pemilih dalam Pencegahan Politik Uang pada Pemilu dan Pemilihan. Ketua KPU RI, Ilham Saputra, menyampaikan bahwa KPU tidak hanya bertugas untuk menyelenggarakan pemilu, tetapi juga memberikan penyadaran kepada masyarakat, dalam hal ini sosialisasi dan pendidikan pemilih, agar seluruh tahapan penyelenggaraan berlangsung dengan baik. Salah satu penguatan demokrasi diseluruh negara adalah penyelenggaraan pemilu yang free and fair election untuk dapat meminimalisir tindakan-tindakan yang melanggar peraturan undang-undang. Diskusi pada hari ini membahas mengenai politik uang dan pencegahannya, yang mana politik uang merupakan tindakan setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pemilih, agar bisa untuk tidak menggunakan hak pilih, bisa juga untuk menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah kemudian diarahkan memilih calon tertentu. Oleh karena KPU bekerja sesuai peraturan undang-undang yang ada, KPU berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bagaimana praktik politik uang dalam proses penyelenggaraan pemilu dan pemilihan. Diharapkan dengan program pendidikan pemilih ini dapat memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa politik uang merusak dan mencederai demokrasi.
Anggota KPU RI Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, memberikan arahannya sebelum kegiatan dimulai. Berdasarkan hasil evaluasi, isu dan praktik-praktik politik uang dalam konteks pemilu dan pemilihan masih ditemui dan kerap terjadi di tengah masyarakat. Dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi dan demokrasi elektoral di Indonesia, terlebih dalam menghadapi Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024, maka upaya-upaya untuk melakukan sosialisasi pendidikan pemilih dan pencegahan politik uang merupakan hal yang sangat fundamental dan strategis. Terkait hal tersebut diharapkan webinar ini memberikan hal positif dalam kemajuan dan peningkatan kualitas demokrasi ke depan.
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Sri Budi Eko Wardani, menjadi narasumber pertama. Sri menyampaikan pemaparannya mengenai penyebab dan modus praktik transaksi politik dalam pemilu dan pemilihan. Indonesia mengalami perubahan yang dramatis dalam sistem pemilu dan perilaku transaksional politik, dari orde baru dengan mobilisasi yang sangat panjang menuju era reformasi yang parsitipatif, sehingga adanya situasi keterbukaan dan kebebasan sipil yang didorong oleh adanya perubahan sistem perwakilan, sistem pemilu, sistem partai politik sampai dengan sistem perwakilan partai politik. Hal tersebut memberi dampak terhadap perilaku transaksional di dalam politik. Ada situasi yang berubah, dimana sistem pemilu dan kepentingan partai politik dengan kepentingan pemilih, dan ditengahnya terdapat kandidat yang beraktivitas berdasarkan dua kepentingan tersebut.
Transaksi politik dalam pemilu berkembang menjadi dua bentuk apabila dilihat dari perilakunya, dapat terjadi antara peserta pemilu dan penyelenggara pemilu, ada transaksi yang melibatkan antar peserta pemilu (kandidat) dengan penyelenggara pemilu dengan modus suap untuk mengubah suara di formulir rekapitulasi, manipulasi formulir dukungan, mobilisasi pemilih yang untuk kemenangan kandidat. Kemudian terjadi antara peserta pemilu dan pemilih, dimana transaksi dilakukan melalui modus vote buying dan kontrak politik dengan tujuan untuk kandidatnya mendapatkan perolehan suara. Sementara untuk pemilihnya dalam pemenuhan kepentingan/aspirasi. Setidaknya ada dua bentuk transaksi politik, yaitu disebut dengan klientelisme dan bias partisan. Klientelisme lebih kepada money politic, dengan cara kandidat menawarkan bantuan materi pada seseorang atau sekelompok orang dengan imbalan dukungan suara atau dukungan politik pada hari pemilihan. Bias partisan, umumnya dipraktikkan oleh petahana kepala daerah ataupun anggota legislatif dengan bentuk aliran bantuan atau program-program pembangunan pada daerah-daerah konstituennya untuk mencari simpati pada masa pemilu. Disinilah peran penting penyelenggara pemilu dalam memberikan pendidikan politik yang memampukan warga dalam mentransaksikan secara programatik aspirasi mereka kepada kandidat/politisi, karena KPU mempunyai tahapan kampanye pemilu yang perlu dilihat tidak hanya dalam kacamata konvensional, tetapi juga dilihat dari kacamata progresif. Bahwa kampanye bukan hanya sarana bagi kandidat dalam menyampaikan visi misi, tetapi juga memberikan ruang bagi warga untuk dapat mendelebrasikan juga kepentingannya pada forum kampanye. Dengan demikian setidaknya dalam jangka panjang, warga dapat mulai melihat bahwa pemilu tidak sekedar dimobilisasi untuk mendapatkan uang, tetapi dapat menjadi ruang bagi warga untuk mentransaksikan aspirasinya, terang Sri.
Direktur Pembinaan Peranserta Masyarakat KPK, Kumbul Kuswidjanto Sudjadi, menjadi narasumber kedua. Kumbul membahas mengenai refleksi pencegahan dan pendidikan politik uang, tantangan dan harapan. Jika berbicara tentang bagaimana cara membangun sebuah negara demokrasi, tentunya tidaklah mudah. Jika bicara tentang pemilu berintegritas, tentu seluruh komponen yang terlibat di dalamnya harus berintegritas, baik penyelenggara, kontestan dan rakyat pemilih. Ketiga komponen ini harus memiliki kesamaan visi dan misi. Fakta di lapangan, biaya pilkada sangatlah mahal. Mahalnya biaya pilkada disebabkan karena adanya seluruh komponen yang dijelaskan sebelumnya, namun jika sepakat untuk berintegritas dan tidak ada politik uang, tentu tidak akan ada biaya mahal untuk pilkada. Fakta berikutnya ialah kebutuhan dana pemilu yang besar, adanya money politic, adanya pendonor/sponsor kepada para calon, serta aturan hukum yang dirasa kurang efektif. Inilah yang perlu dihadapi bersama agar ke depan fakta-fakta di lapangan seperti ini tidak terus berkembang.
Poltitik uang pada dasarnya kegiatan transaksional antara calon dengan para pemilih, baik secara langsung atau tidak langsung dengan tujuan untuk memilih atau tidak memilih kandidat. Politik uang dilarang karena dampaknya sangatlah buruk yang dapat merusak sistem demokrasi. Pemimpin terpilih tidak kompeten dan tidak berintegritas karena dari awal para calon sudah melakukan politik uang. Anggaran digunakan untuk kepentingan pemodal yang nantinya akan dikembalikan kepada pemodal, sehingga pemimpin terpilih berpotensi untuk korupsi dan menyengsarakan rakyat. Untuk itu membangun integritas menjadi sangat penting, integritas mudah diucapkan namun sulit dilakukan, karena integritas perlu iman yang kuat, konsisten, rela berkorban, perlunya dukungan orang lain untuk mengingatkan, jelas Kumbul.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, August Mellaz, memberikan pemaparannya mengenai dampak politik uang dalam pemilu dan pemilihan terhadap kualitas demokrasi elektoral di Indonesia. Pasca Pemilu Tahun 2009 muncul suatu gejala dalam sistem elektoral di Indonesia, yaitu personalisasi kandidat yang berdampak terhadap peningkatan pembiayaan kampanye yang berorientasi pada calon. Dua gejala tersebut makin menguat pada Pemilu Tahun 2014, khususnya pada pelaksanaan pileg. Saat dilaksanakannya pemilu serentak, sifat alami keserentakan pemilu membuat posisi pilpres menjadi mayor dan menggeser posisi pileg, sehingga mempersempit wilayah kompetisi pada pileg. Popularitas dan elektabilitas figur calon presiden ditentukan oleh dua aspek, pertama peluang keterpilihan kandidat, dan kedua asosiasi partai atau koalisi pengusung terhadap calon presiden. Formula keterpilihan calon presiden menentukan insentif atau disinsentif kompetisi. Insentif koalisi atau aliansi bagi partai kecil-menengah, sedangkan formula mayoritas sebaliknya menjadi disinsentif. Formula lain disebut Runoff with reduced threshold. Tetapi sifat alami open list pada pileg menimbulkan adanya personal vote, yaitu orientasi perolehan suara sebanyak-banyaknya oleh calon legislatif untuk menggaransi keterpilihannya dan memunculkan situasi menguatnya intraparty competition. Inilah yang mendorong terjadinya candidate centered politics, yaitu orientasi pada perolehan suara calon legislatif mengubah kampanye pileg, tidak lagi berbasis orientasi pada partai, namun menjadi personalisasi calon legislatif. Terlihat dari jenis-jenis kampanye dan pembiayaan kampanye, keduanya berdampak terhadap kompetisi elektoral, khususnya yang dicerminkan melalui dana kampanye. Dari hal tersebut muncul temuan, dalil keserentakan menjadikan pilpres menjadi sentral dan berdampak mempersempit wilayah kompetisi pada pileg, sehingga terjadi pergeseran pola pembiayaan kampanye pada dua data pemilu (non serentak dan serentak). Sistem pileg turut memberikan kontribusi terhadap adanya politik uang, menurut Studi Muhtadi (2018) dalam buku pembiayaan pemilu di Indonesia, menunjukkan bahwa persaingan internal antar calon legislatif di daerah pemilihan dari partai yang sama menjadi penentu dibandingkan persaingan antar partai politik peserta pemilu. Berdasarkan data Pileg 2014, dari 77 dapil yang tersedia, rata-rata selisih perolehan suara calon legislatif pemenang kursi disuatu dapil dengan calon legislatif suara terbanyak dari partai yang sama, jaraknya hanya 1,65%, Tipisnya jarak antara calon legislatif yang memperoleh kursi dibanding calon legislatif berikutnya, ditengarai menjadi variabel penting yang mendorong terjadinya praktik vote buying, ungkap August.
August menyimpulkan dalam pembahasannya bahwa pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2019 berdampak terhadap terhadap menurunnya pembiayaan pileg dan bergeser pada meningkatnya pembiayaan pilpres. Meskipun pada pileg terjadi penurunan, namun personalisasi caleg makin menguat. Hal ini ditunjukkan melalui postur pembiayaan kampanye pileg pada tiga (3) aspek: penerimaan, pengeluaran, dan belanja iklan kampanye. Pileg daftar terbuka dalam pelaksanaan pemilu serentak, hendaknya diiringi dengan perubahan paradigma yang menempatkan caleg sebagai obyek utama setara dengan partai dalam pileg. Pengaturan hukum pemilu hendaknya didesain dengan tujuan menempatkan caleg dan partai sebagai obyek setara, diikat kewajiban dan kepatuhan yang sama untuk comply dengan sistem audit pembiayaan kampanye pemilu, tutup August.
Sebagai penutup webinar, Anggota KPU RI Divisi Hukum dan Pengawasan, Hasyim Ashari, turut menyampaikan pemaparannya mengenai Strategi Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih Pencegahan Politik Uang. Seperti apa yang dibahas sebelumnya, bahwa politik uang memiliki dampak terhadap pemilu, dimana politik uang menyebabkan kandidat harus mengeluarkan dana yang besar untuk menduduki jabatan tertentu, sehingga muncul keinginan untuk mengembalikan “modal” pencalonan tersebut. Maka dari itu terjadi penyelewengan kekuasaan yang dilakukan politisi untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan tujuan meningkatkan kekuasaan atau kekayaan. Hal tersebut mengakibatkan rakyat menjadi korban karena hak-haknya sebagai warga negara (pemilih) terampas dan mencederai prinsip keadilan dalam demokrasi. Politik uang juga berkaitan dengan pemilu berintegritas. Menciptakan pemilu yang berintegritas merupakan tanggung jawab bersama antara penyelenggara, pemerintah, peserta pemilu dan pemilih yang secara komprehensif sadar akan pentingnya moral dan etika. Salah satu komponen pemilu berintegritas adalah perilaku etik (ethical behaviour). Adanya perilaku etik tersebut menjadi rambu-rambu normatif bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pemilu agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada malpraktik pemilu, apapun bentuknya (administrasi, pidana dan pelanggaran kode etik). Dengan demikian adanya politik uang yang muncul jelas akan menjatuhkan integritas dari pemilu/pemilihan itu sendiri yang seharusnya dijaga demi suksesi demokrasi menjadi berkualitas, karena politik uang jelas hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
Untuk itu, perlu dilakukan strategi sosialisasi dan pendidikan pemilih dalam pencegahan politik uang, diantaranya dengan dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan, salah satunya melalui program kegiatan DP3. Membenahi penyebaran/diseminasi informasi kepemiluan secara berjenjang melalui peran Badan Koodinasi Hubungan Masyarakat (Bakohumas) KPU serta para pemangku kepentingan kepada masyarakat diseluruh Indonesia. Meyakini dan menyosialisasikan bahwa politik uang melanggar undang-undang karena termasuk tindak pidana pemilu yang akan mendorong pemimpin/wakil rakyat yang rentan korupsi, karena hanya berpikir untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan, sehingga menyebabkan kesejahteraan hanya menumpuk di orang sekitar karena kebijakan yang dihasilkan cenderung menguntungkan orang disekitarnya, serta memberikan informasi kepada masyarakat terkait pelaporan apabila bukti politik uang ditemukan saat pelaksanaan pemilu/pemilihan. (Humas KPU Kabupaten Bandung)