MODUS OPERANDI DAN SOLUSI KAMPANYE SARA

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Kegiatan Webinar Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) kembali digelar oleh PU RI pada Selasa (12/10/2021), yang memasuki seri ke-6. Tema yang diangkat mengenai Modus Operandi dan Solusi Kampanye SARA dalam Pemilu dan Pemilihan. Seperti yang tertulis dalam undang-undang pemilu dan pemilihan, selalu ada tahapan kampanye. Ketua KPU RI, Ilham Saputra, dalam sambutannya menyampaikan bahwa tahapan kampanye ini dilakukan oleh peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu. Pada pelaksanaannya kerap ditemukan menggunakan isu-isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) yang dipolitisasi sehingga berujung pada kebencian. KPU mempunyai tugas untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat  bahwa kampanye SARA itu salah dan tidak boleh dilakukan. KPU sebagai penyelenggara pemilu memiliki peran strategis salah satunya dengan melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada masyarakat. Oleh karenanya dalam program DP3 ini salah satu materinya mengangkat isu SARA. Penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan masyarakat umum perlu diberikan pengetahuan yang komperhensif mengenai faktor-faktor kampanye isu SARA. Dalam menghindari isu ini,  tentu  harus berkoordinasi dengan para pihak. KPU tidak dapat bekerja sendiri dalam memberikan pendidikan politik untuk membendung isu SARA ini tanpa melibatkan institusi lain untuk membuat strategi bersama.

Anggota KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, memberikan pengantar diskusi dalam kegiatan ini. Seri ini merupakan seri ke-6 dari 7 seri yang akan diselenggarakan oleh KPU dalam rangka sosialisasi dan pendidikan pemilih terkait program DP3, yang merupakan program awal dari KPU untuk memberikan informasi terkait dengan pemilu dan pemilihan kepada masyarakat ,khususnya yang ada di daerah pedesaan dengan upaya berbasis lokus, kelurahan atau kampung. Sosilasi dalam webinar seri ini diharapkan dapat memperluas sebaran informasi sebagai pelayanan KPU kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi data terkait perkembangan dan situasi terakhir. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan berbagai macam kebhinekaannya, beragam suku, agama, adat istiadat serta kondisi geografis dan sosial kemasyarakatan. Untuk memperkuat ke-Indonesiaan dalam rangka membangun demokrasi yang konstitusional, pemilu luber dan jurdil yang semakin berkualitas, maka upaya-upaya sosialisasi dan pendidikan pemilih dalam rangka pencegahan kampanye SARA menjadi sangat penting, karena substansi kampanye adalah bagaimana sebetulnya para kandidat menyampaikan visi - misi dan programnya untuk meyakinkan pemilih agar kandidat yang bersangkutan dipilih pada saat pemungutan suara. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh KPU dan pihak terkait lainnya, potensi terjadinya kampanye SARA masih cukup besar. Namun demikian dengan peran aktif segenap stakeholders, KPU berharap ke depan kualitas kampanye lebih didorong kearah kampanye yang lebih berkualitas, lebih demokratis dan lebih menyentuh kepada problem sosial yang ada di masyarakat. Upaya dan komitmen bersama menjadi sangat penting untuk menghadapi Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024.

Kris Nugroho dari Universitas Airlangga menjadi Narasumber pertama. Kris menyatakan bahwa mencermati pemilu dan rangkaian pemilihan yang telah berlangsung di Indonesia, para ilmuwan politik sepakat bahwa proses demokrasi politik di Indonesia merupakan ujian yang berat. Proses demokrasi elektoral yang berlangsung selama ini harus dilandasi paling tidak dengan 5 prinsip pemilu demokratik, yaitu hak pilih universal, kesetaraan, bebas dan jujur (luber dan jurdil), bebas dari kekerasan/paksaan serta non diskriminasi. Inilah yang menjadi tolok ukur kemajuan suatu proses politik khususnya demokrasi elektoral di Indonesia. 5 prinsip pemilu demokratik tersebut membawa ke sebuah tahapan yang disebut dengan pemilu inklusif, yang artinya bahwa pemilu terbuka bagi siapa saja, tidak mengenal gender, kedaerahan, agama/kepercayaan, etnik dan ras. Dalam suatu proses pemilu yang ada, dikenal suatu terminologi yang disebut kampanye SARA, yang bermakna identitas komunal yang melekat (embeded) dalam masyarakat seperti etnis, suku, agama, ras dan identitas golongan (klasifikasi di luar embeded suku, agama dan ras = klas ekonomi, politik, ideologi). instrumentalisasi isu-isu SARA merupakan salah satu cara untuk menggerakkan, mobiIlisasi sentimen politik, membedakan, membangun demarkasi dengan pihak lain yang berbeda.

Mengapa dalam kasus pemilu dan pemilihan di Indonesia terjadi Instrumentalisasi SARA? Setidaknya ada beberapa faktor, diantaranya faktor kompetisi yang zero sum, komunalisme, struktur mobilisasi kelembagaan yang dianggap tidak efektif, kekuataan kelembagaan partai lemah diganti loyalitas pemilih yang tinggi kepada figur dan simbol-simbol sentimen politiknya. Kampanye berbasis SARA jelas merupakan suatu hal yang melanggar norma kampanye pemilu. Ada beberapa hal implikasi SARA dalam kampanye, dari aspek pengembangan demokrasi jelas sekali bahwa pengunaan sara dalam kampanye akan melemahkan institusi demokrasi, terutama partai, karena gagal menjadi institusi sumber dalam penyampaikan pesan-pesan politik, kegagalan proses pendidikan politik, serta partai politik/calon tidak perlu bekerja keras meyakinkan pemilih melalui program-program, semua kondisi tersebut dapat mengurangi legitimasi penyelenggara pemilu, pengawasan pemilu dan menyebabkan ketidakpercayaan publik terhadap demorkasi elektoral dan norma-norma pemilu.

Kris menambahkan, jika dilihat dari aspek sisio-politik, penggunaan SARA dalam kampanye akan menimbulkan politik distingtive, segmentasi komunal yang semakin tajam, penguatan politik identitas atas dasar isu SARA menuju zero sum conflict, menjadi memori politik kolektif yang tidak inklusif serta sebagai jalan pintas bagi kemenangan politik “semu”. Bagaimana solusinya terhadap politisasi SARA dalam kampanye? Yaitu dengan memperkuat kelembagaan struktur mobilisasi partai politik, mempertegas regulasi pemilu dan pemilihan, memberi sangsi politisasi SARA dalam kampanye (denda, pidana, pembatalan pencalonan), memperkuat pengawasan, memperkuat literasi politik, serta demokrasi dan kesetaraan politik. Dimana fungsi partisipasi masyarakat dan sosialisasi penyelenggara pemilu harus diperkuat.

Narasumber kedua, Valina Singka Subekti dari Universitas Indonesia, menyampaikan ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin meluasnya penggunaan isu SARA di dalam penyelenggaraan pemilu. Pertama, adanya perubahan di dalam desain kelembagaan demokrasi, terutama mengenai aspek regulasi pemilu pasca amandemen konstitusi. Seperti diketahui bersama bahwa sistem pemilu di Indonesia sudah berubah menjadi proporsional daftar calon terbuka, sehingga terjadi perubahan orientasi memilih dari yang awalnya memilih partai menjadi memilih kandidat. Hal ini menimbulkan kompetisi yang sengit antar calon, sehingga cara apapun dilakukan termasuk penggunaan isu SARA menjadi satu hal yang efektif untuk meraih simpatik atau dukungan elektoral dari masyarakat yang tujuannya adalah untuk meraih kemenangan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan nilai-nilai hakiki yang sudah ditanamkan oleh para pendiri negara ini sebagaimana tertulis dalam konstitusi.  Latar belakang agama, suku dan golongan ini berbahaya apabila dibiarkan, dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa untuk ke depannya.

Faktor berikutnya menurut Valina adalah terkait revolusi digital dan revolusi komunikasi. Adanya kemajuan teknologi informasi ini  tidak hanya berdampak pada segi ekonomi, tetapi juga berdampak pada komunikasi politik atau partisipasi politik. Kebebasan informasi dalam penggunaan media sosial menimbulkan banyaknya hoaks dan ujaran kebencian, baik verbal maupun non verbal. Kondisi ini telah mendorong mobilisasi politik dan rekayasa politik yang lebih didasarkan oleh sentimen emosi, bukan karena rasional fakta. Hal inilah yang menjadi pintu masuk untuk sebuah mobilisasi politik yang didasarkan pada isu-isu yang bersifat primodial, dan ini sangat berbahaya. Persoalan kemiskinan juga menjadi salah satu faktor meluasnya penggunaan isu SARA dalam penyelenggaraan pemilu.

Direktur Informasi dan Komunikasi Kemenkominfo, Bambang Gunawan, menjadi narasumber ketiga. Menurutnya jika bicara demokrasi diera digital sekarang ini, pilar demokrasi bukan lagi sekedar eksekutif, legislatif dan yudikatif. Selain pers, media sosial juga termasuk ke dalam pilar demokrasi. Beberapa ahli mengatakan bahwa media sosial sudah menjadi pilar dalam demokrasi. Para pemimpin di dunia mulai menyerap dan menjawab opini dan aspirasi masyarakat (warganet/netizen) di media sosial, termasuk di Indonesia. Media sosial menjadi  tempat bagi masyarakat untuk menyampaikan yang menjadi hak mereka terkait dengan demokrasi. Namun diera sekarang ini, warganet atau netizen bukan lagi sekedar konsumen, tetapi juga produsen berita. Masyarakat yang memiliki informasi berkualitas akan menghasilkan juga demokrasi demokrasi yang berkualitas. Untuk menghasilkan demokrasi yang berkualitas, maka ruang publik atau ruang digital harus diisi oleh informasi sosial dan politik yang berkualitas.

Pada situasi sekarang ini, menurut data yang bersumber dari asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia, menunjukan bahwa pengguna internet Indonesia tahun 2020 mencapai 190 juta orang atau 74% dari total populasi 267 juta orang. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi memudahkan masyarakat untuk berkomunikasi dan berekspresi di jagat maya Indonesia. Namun menurut studi Microsoft, etika komunikasi warganet Indonesia - khususnya di media sosial - di banding negara lain di dunia sangat memprihatinkan, sehingga sebagian ekspresi dalam berkomunikasi tidak lagi mencerminkan nilai-nilai bangsa Indonesia yang percaya terhadap nilai nilai Pancasila, toleransi, gotong royong, kemanusiaan (demokrasi) dan nilai nilai sosial. Selanjutnya, Bambang juga menjelaskan peran Kemenkominfo, setidaknya ada tiga direktorat yang terlibat dalam pemilu. Yang pertama adalah Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika atau Direktorat Jenderal Aptika yang bertugas memonitoring isu, pemutakhiran, pengendalian hoaks, penegakan hukum dan aplikasi informasi informatika. Dirjen Aptika juga terlibat dalam cyber patro,l yaitu melakukan patroli secara cyber untuk mengetahui konten-konten negatif yang terlibat dengan pemilu/pemilihan. Kedua, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (DJIKP) yang berkaitan dengan diseminasi informasi untuk mengajak masyarakat yang sudah mempunyai hak pilih agar berkenan datang ke TPS untuk melakukan pencoblosan. Ketiga, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informasi (DIJPPI) terkait dengan pemanfaatan SMS Blast, Chat Bot dan pemanfaatan dukungan jaringan dengan melibatkan platform digital yang ada. DJIKP memiliki berbagai program di media sosial. Dari pemaparan yang disampaikan, Bambang menyimpulkan bahwa media sosial menjadi sarana pertukaran aspirasi politik bagi masyarakat dan para pemimpin. Namun media sosial juga mengakibatkan banjir informasi yang juga berisi hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah, sehingga kehidupan demokrasi terancam oleh kelompok masyarakat yang apatis, sinis, dan pesimis terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka upaya penanganan hulu dan hilir diperlukan untuk menjaga jagat maya Indonesia dan meningkatkan kemampuan semua pihak untuk memilah informasi. (Humas KPU Kabupaten Bandung).

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 646 Kali.