
Mendaulatkan Pemilih Dalam Tinjauan Filsafat
Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bandung mengikuti kegiatan Webinar dengan Topik Mendaulatkan Pemilih dalam Tujuan Filsafat Pendidikan Pemilih yang diselenggarakan oleh KPU Kota Tasikmalaya berkolaborasi dengan KPU Kabupaten Indramayu pada Kamis (29/4/2021). Dipandu oleh moderator Anggota KPU Indramayu Divisi Sosialisasi Partisipasi Masyarakat, Dewi Nurmalasari, M.A. serta narasumber Dr. H. Idham Holiq, S.E., M.Si. selaku Anggota KPU Provinsi Jawa Barat Divisi Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih. Webinar diawali dengan pengantar dari Ketua KPU Kota Tasikmalaya, Ade Zaenul Mutaqin, M.Ag.
Demokrasi tidak bisa mengajarkannya sendiri. Jika kekuatan, kemanfaaatan, dan tanggung jawab demokrasi tidak dipahami dan dihayati dengan baik oleh warga negara, sukar diharapkan mereka mau berjuang untuk mempertahankannya, ujar Ade mengutip Gandal and Finn (1992:2). Posisi Pemilih yang berdaulat merupakan posisi yang urgent. Mengapa pendidikan demokrasi merupakan kebutuhan mendesak dan penting dalam membangun budaya demokratik (democratic culture)? Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan ”political illiteracy”, Kedua, meningkatnya apatisme politik (political apathism) yang ditunjukkan dengan sedikitnya keterlibatan warga negara dalam proses-proses politik. Lebih lanjut Ade menjelaskan aspek tujuan pendidikan pemilih, yakni mengembangkan kecerdasan pemilih (voter intelligence), membina tanggung jawab warga negara (voter responsibility), dan mendorong partisipasi pemilih (civic participation). Membangun orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awareness, attitude, political efficacy, social trust dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ada 3 (tiga) aliran filsafat pendidikan yang dapat dijadikan landasan, diantaranya adalah: (1) Perennialism: bahwa demokrasi diyakini sebagai nilai-nilai ideal atau nilai-nilai positif yang sudah ditemukan oleh para tokoh filosof dan cendekiawan yang harus diwariskan dari satu generasi ke generasi melalui kegiatan pendidikan; (2) Progressivism: meletakkan dasar penghormatan atas harkat dan martabat manusia, menjunjung tinggi hak asasi individu dan nilai-nilai demokratis seperti kebebasan atau kemerdekaan individu: (3) Constructivism: Ketika demokrasi terus berdialektika dengan perkembangan zaman, pemaknaan demokrasi mengalami perkembangan, maka pemilih diharapkan dapat mengkonstruksi makna demokrasi yang lebih substantif, ideal, dan implementatif yang sesuai dengan semangat zamannya, terang Ade.
Filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Filsafat pendidikan adalah cabang dari filsafat terapan/praktis yang berkaitan dengan hakikat dan tujuan pendidikan serta masalah-masalah filosofis yang timbul dari teori dan praktik pendidikan, terang Idham dalam paparannya. Kemudian berkaitan dengan Pendidikan Pemilih, proses pengetahuan pemilih muncul melalui 3 (tiga) hal, diantaranya: 1) Rasionalisme menyarankan bahwa pengetahuan muncul dari kekuatan pikiran manusia untuk mengetahui kebenaran; 2) Empirisme menyatakan bahwa pengetahuan muncul dalam persepsi. Kita mengalami mdunia dan sebenarnya “melihat” apa yang sedang terjadi; 3) Kontruktivisme (constructivism) menganggap bahwa orang menciptakan pengetahuan. Fenomena dipahami dalam beragam cara. Pengetahuan diciptakan oleh seseorang. Dalam hal ini ada yang diistilahkan social constructivism yang mengajarkan bahwa pengetahuan adalah produk interaksi simbolik di dalam kelompok sosial. Dalam istilah lain, realitas secara sosial dikonstruksikan, sebuah produk dari kelompok dan kehidupan kultural.
Lebih lanjut Idham menjelaskan bahwa Pendidikan Pemilih adalah proses penyampaian informasi kepada Pemilih untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran Pemilih tentang Pemilihan/Pemilu, ini dijelaskan dalam Peraturan KPU. Pendidikan Pemilih yakni akivitas epistemik demokrasi dan pemilu, Pemilih berdaulat dalam berpartisipasi, khususnya dalam keputusan pilihan elektoralnya. Kedaulatan rakyat (popular sovereignty) adalah prinsip utama dalam negara demokrasi dimana otoritas suatu negara dan pemerintahannya diciptakan dan dijalankan berdasarkan persetujuan rakyatnya. (Hupmas KPU Kabupaten Bandung)