MEMASTIKAN 30% KETERWAKILAN PEREMPUAN PENYELENGGARA PEMILU

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Rangkaian proses seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu periode tahun 2022 – 2027 telah menghasilkan nama-nama Anggota KPU dan Anggota Bawaslu terpilih periode 2022-2027, namun muncul kekecewaan publik dan masyarakat sipil ketika agenda penting yang telah dikawal terkait keterwakilan perempuan minimal 30% tidak terwujud. Untuk itu Pusat Kajian Politik (Puskapol) LPPSP FISIP UI kembali menyelenggarakan diskusi publik secara daring, pada Rabu (16/3/2022), dengan tema “Mengawal Keterwakilan Perempuan di KPU dan Bawaslu: Memastikan Keterwakilan Perempuan Minimal 30% di penyelenggaraan Pemilu Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota”. Dengan menghadirkan narasumber dari Perludem, Jeirry Sumampow Koordinator Komite Pemilih (TePI) Indonesia, serta Komisioner Bawaslu Terpilih Periode 2022-2027, diskusi kali ini membahas dua poin penting yakni mengidentifikasi tantangan yang muncul dalam proses seleksi KPU dan Bawaslu di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta solusi yang dapat ditawarkan khususnya terkait bagaimana menjaring perempuan potensial untuk ikut dalam seleksi termasuk memastikan keterwakilan sebesar 30%, juga mengenai strategi yang dimiliki oleh komisioner terpilih.

Lolly Suhenti, Anggota Bawaslu RI terpilih Periode 2022-2027, menjelaskan bahwa Indonesia tidak kekurangan payung hukum terkait dengan spirit pengaturan keterwakilan perempuan dalam Pemilu. Namun pada prakteknya terdapat situasi yang berbeda antara sumber yang digunakan dalam affirmative action dengan implementasinya.  Dengan sumber yang sama yaitu Undang-undang Nomor 7 tahun 1984, dan diturunkan menjadi UU Nomor 7 tahun 2017 memberikan  affirmative action minimal 30% bagi penyelenggara Pemilu dengan redaksi “memperhatikan”, berbeda halnya dengan affirmative action bagi peserta Pemilu dimana redaksinya adalah “menyertakan/memuat” yang artinya wajib dilakukan dalam proses pendaftaran, pengajuan bakal calon termasuk dalam daftar bakal calon, dengan substansi hukum yang kuat bagi peserta pemilu, maka keterwakilan perempuan sebagai calon dapat terpenuhi minimal 30%.  Sementara itu tidak ada ketegasan regulasi bagi penyelenggara pemilu yang menjadi dasar untuk mengelak dalam menegakkan affirmasive action.

Menurut Dewan Pembina Perludem Titi Anggraeni, dalam konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women /CEDAW) yang diratifikasi Indonesia menjadi UU Nomor 7 Tahun 1984, secara tegas menyebut bahwa negara-negara pihak harus mengambil semua tindakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan publik. Secara khusus, negara harus menjamin bagi peremmpuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, serta untuk memegang jabatan publik dan melakukan semua fungsi publik di semua tingkat pemerintahan.

Terdapat tiga alasan, mengapa keterwakilan perempuan penting dalam strategis dan urgent di Penyelenggara Pemilu (Electoral Government Bodies). Pertama, perempuan membentuk setidaknya setengah dari populasi suatu negara dan jika terpinggirkan dari partisipasi penuh dan setara dalam proses politik dan pengambilan keputusan, sebuah negara tidak dianggap sepenuhnya demokratis. Kedua, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan dan pemerintahan suatu negara sangat penting untuk mempertahankan masyarakat yang dinamis. Dengan pertimbangan bahwa perempuan memiliki pengalaman, kebutuhan dan perspektif yang berbeda dari laki-laki. Ketiga, melibatkan perempuan adalah masuk akal secara ekonomi. Merujuk penelitian beberapa lembaga ekonomi global disimpulkan bahwa kesetaraan gender mengarahkan pada masyarakat yang lebih sejahtera dan kinerja ekonomi yang lebih baik. Titi menekankan, pada akhirnya kehadiran perempuan diperlukan untuk mewujudkan pemilihan umum yang inklusif, dimana semua orang yang memenuhi syarat memiliki kesempatan untuk memilih wakil yang dipilih, yang merupakan inti dari demokrasi, sehingga badan penyelenggara pemilu yang inklusif dan peka gender memiliki kapasitas dalam strategi bertarget gender untuk mencapai kesetaraan gender.

Koordinator TePI Indonesia, Jeirry Sumampow menambahkan di akhir diskusi, dalam situasi politik seperti saat ini, fokus perjuangan keterwakilan perempuan harus dilakukan agar terlihat penguatan militansi untuk memperjuangkan hal-hal terkait keterwakilan perempuan, terutama di tingkat daerah. KPU sebelumnya pernah memiliki pengalaman dengan memasukan keharusan 30% keterwakilan perempuan walapun tidak diatur dalam undang-undang secara kuat, namun regulasinya diterima, hal seperti itu menurut Jeirry harus didorong dalam konteks regulasi yang terkait dengan norma-norma keterwakilan perempuan.  (Humas KPU Kabupaten Bandung).

Follow Us

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 53 Kali.