KOMPLEKSITAS DAN STRATEGI PENDIDIKAN PEMILIH PEMILU 2024

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – Menjelang pelaksanaan tahapan Pemilu Tahun 2024 yang akan diselenggarakan dalam beberapa bulan ke depan, KPU Provinsi Sulawesi Tengah mengadakan dialog virtual dengan mengangkat tema “Tantangan Kompleksitas Pemilu 2024 dan Strategi Pendidikan Pemilu.” Acara ini dilaksanakan pada Selasa, 8 Maret 2022 dan diikuti oleh KPU Provinsi serta KPU Kabupaten/Kota se-Indonesia. Bertindak sebagai narasumber pada kesempatan kali ini adalah Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Anggota KPU Provinsi Jawa Barat, Idham Holik, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah, Sahran Raden, serta Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Dzuriyatun Toyiban.

Dewa mengatakan bahwa masyarakat perlu mendapat kepastian hukum mengenai hari dan tanggal pemungutan suara yang telah ditetapkan. Hari pemungutan suara pemilu telah ditetapkan pada tanggal 14 Februari 2024. Berdasarkan penilaian risiko tahapan, didapati kesimpulan bahwa pelaksanaan Pemilu Tahun 2024 pada bulan Februari memiliki tingkat risiko yang lebih rendah apabila dilaksanakan secara serentak dengan Pemilihan Tahun 2024. Saat ini KPU sedang melakukan proses kodefikasi untuk konsepsi mengenai tingkat partisipasi masyarakat dalam kaitannya dengan program sosialisasi dan pendidikan pemilih.

Dewa melanjutkan bahwa setidaknya terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan pada Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024. Diantaranya disinformasi dan informasi hoaks, dimana istilah tersebut mengacu pada informasi atau data palsu yang sengaja disebarkan untuk untuk membentuk opini baru tentang suatu hal. Dalam konteks pemilu, disinformasi dan  berita hoaks biasanya digunakan untuk mengarahkan pemilih agar menyukai atau membenci kelompok/sosok tertentu. Hal ini perlu ditanggulangi karena dapat menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat dan menjadikan pemilu tidak lagi sebuah kompetisi yang sportif. Selain itu, politik transaksional juga menjadi salah satu tantangan, dimana terjadinya tukar menukar barang dan/atau jasa antara politikus dengan konstituen yang diwakili ataupun dengan partai politik untuk mendapatkan dukungan maupun konsensus bersama. Implikasinya dapat menyebabkan biaya politik yang tinggi, meningkatnya korupsi, kolusi dan nepotisme serta kesengsaraan rakyat dikarenakan orientasi penguasa bukan pada kesejahteraan rakyat.

Politik identitas mengacu pada cara berpolitik yang menjadikan identitas ras, agama, etnis, sosial atau budaya tertentu sebagai alat untuk mencapai kepentingan atau tujuan tertentu juga seringkali menjadi penyebab utama munculnya konflik sosial di tengah masyarakat, terutama pada masa pemilu dan pemilihan. Adanya ancaman golongan putih (golput), meskipun golput juga merupakan sebuah bentuk sikap politik pemilih, namun sedapat mungkin hal tersebut dapat ditekan seminimnya. Tingginya tingkat golput menunjukkan protes/ketidaksetujuan pemilih terhadap sistem politik yang ada. Bahkan dapat juga berarti ketidakpercayaan pemilih terhadap penyelenggara pemilu. Oleh karena itu harus dihindari agar hasil pemilu mendapatkan legitimasi dari pemilih dan rakyat secara keseluruhan. Aspek penyelenggaraan, badan ad hoc, logistik, pemutakhiran data pemilih, anggaran, serta sarana dan prasarana menjadi kompleksitas tersendiri bagi penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024.  

Idham Holik berpendapat, seringkali masih terdapat partisipasi yang dimobilisasi pada penyelenggaraan pemilu maupun pemilihan, yang mana hal tersebut menjadi salah satu tantangan, sementara partisipasi merupakan kunci keberhasilan dari demokrasi elektoral. Pendidikan pemilih merupakan civic responsibility. Disebut demikian karena dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tertera secara eksplisit tentang mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga KPU sebagai penyeleggara pemilu juga memiliki kewajiban mencerdaskan pemilih. Pendidikan pemilih sendiri dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan Pedagogi, dimana dalam konteks demokrasi elektoral, pendidikan pemilih harus bisa mengaktivasi atau mengembalikan kesadaran eksistensial yang ter-representasi dalam kemerdekaan berpartisipasi pemilih. Berikutnya adalah pendekatan Andragogi, yaitu dengan metode dan praktik pembelajaran orang dewasa, dimana peserta didik diarahkan agar dapat memecahkan permasalahan (problem-solving oriented) yang dihadapinya. Selanjutnya yaitu pendekatan Heutagogi, yaitu studi tentang pembelajaran mandiri yang mengembangkan pendekatan holistic untuk mengembangkan kemampuan peserta didik, dengan menempatkan peserta didik sebagai agen utama dalam pembelajaran. Strategi sosialisasi dan pendidikan juga dapat dilakukan dengan cara berkomunikasi langsung, komunikasi melalui media, kolaborasi dengan stakeholder, serta merekrut relawan berbasiskan komunitas pemilih. Idham menambahkan bahwa efek sosialisasi dan pendidikan pemilih yang efektif biasanya ditandai dengan perubahan perilaku pemilih dari perilaku yang dikuasai oleh virus elektoral menjadi perilaku elektoral yang sehat.

Sahran Raden mengemukakan yang menjadi permasalahan dalam partisipasi dan pendidikan pemilih yakni kurangnya kesadaran politik masyarakat menjadi pemilih yang mandiri dan rasional (berdaulat), terjadinya dinamika tingkat partisipasi pemilih, maraknya praktik politik uang, hoaks dan politik identitas yang sering terjadi menjelang pemilu dan pemilihan, inflasi kualitas partisipasi dan literasi politik terbatas, serta voluntarisme masyarakat sipil meredup. Partisipasi pemilih juga dapat dipengaruhi oleh faktor internal seperti adanya keraguan pemilh terhadap kemanfaatan yang diterima dari pemilihan, aspek kesibukan pekerjaan dan aspek ketidakpedulian atau kurangnya kecerdasan. Selain itu dipengaruhi juga oleh faktor eksternal, yakni aspek teknis penyelenggaraan, administrasi kependudukan, politik dan aspek pandemi Covid-19.

Dzuriyatun melihat dengan adanya partisipasi politik dan pendidikan pemilih perempuan dapat meningkatkan kualitas pemilu dari perspektif keadilan dan kesetaraan gender, serta dapat meningkatkan kualitas pemilih perempuan. Peningkatan kualitas ini dapat dilihat melalui beberapa parameter, diantaranya pemilih perempuan yang rasional, perempuan yang anti hoaks, anti money politics, menolak untuk dimobilisasi, partisipasi perempuan secara rasional dan sukarela. Pendidikan pemilih merupakan bagian dari upaya meningkatkan partisipasi politik  untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Pendidikan tersebut merupakan aktivitas yang berkesinambungan, tidak sekedar sosialisasi prosedur demokrasi, tetapi juga substansi dari demokrasi. (Humas KPU Kabupaten Bandung)

Follow Us

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 71 Kali.