
HASIL RISET KEPEMILUAN NASIONAL
Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – KPU RI bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas serta Badan Kerja Sama dan Manajemen Pengembangan Universitas Airlangga menyelenggarakan Diseminasi Hasil Riset Nasional secara hybrid (daring dan luring), pada Selasa (14/12/2021). Riset nasional ini merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh KPU RI sejak tahun 2019. Pada tahun 2021, kegiatan riset nasional diselenggarakan sebanyak 2 (dua) paket dengan mengangkat tema pertama kerangka Pemilu Serentak Tahun 2024, serta tema kedua Penerapan Teknologi Informasi dan Tata Kelola Pemilu di Indonesia.
Ketua KPU RI, Ilham Saputra, dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan ini adalah wadah bagi lembaga-lembaga yang telah bekerjasama dengan KPU mengenai hasil riset dan ini memberikan manfaat penting bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu. “Melalui kegiatan ini kita bisa berperan aktif dengan memberikan tanggapan dan masukan berdasarkan hasil riset yang nanti akan dipresentasikan. Hasil riset ini diharapkan dapat mengedukasi serta menambah wawasan bidang kepemiluan dan demokrasi. KPU bisa menjadi lembaga yang mandiri, proposional, dan berintergritas dengan didukung hasil riset yang mumpuni,” terang Ilham.
Sesi presentasi disampaikan oleh Ferry Ansari dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas dan Kris Nugroho dari Universitas Airlangga. Hasil Riset ini merupakan wadah merefleksikan atau mencari jalan keluar dari fakta hukum dan fakta politik saat ini. tidak ada perubahan undang-undang pemilu maupun pemilihan, ungkap Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, selaku moderator.
Ferry Ansari menyampaikan Konstitusional serta Kerangka Hukum Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024. Pada kesempatan ini Pusako membahas 7 (tujuh) isu yang perlu dievaluasi, yaitu: (1) Pelaksanaan sistem pemilu; (2) Pemenuhan hak pilih dalam pemilu; (3) Calon dan proses pencalonan pemilu; (4) Kampanye dalam pemilu; (5) Pemungutan suara; (6) Penegakan hukum pemilu; dan (7) Penyelengaaraan Pemilu. “Kami dalam aspek hukum ingin melakukan pendekatan bagaimana sesungguhnya konstitusi kita atau undang-undang dasar terkait dengan penyelenggaraan Pemilu di Indonesia,” ujar Ferry.
Salah satu permasalahan sistem yang menarik yakni bagaimana pemilu menjadi bagian penting dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif. Hal ini berkaitan dengan koalisi oposisi pemerintahan yang baik. Disaat presiden terpilih oleh suara atau kursi partai pendukung, itu akan menjadi pemerintahan yang mendominasi di parlemen oleh partai tersebut. Harapannya timbul koalisi oposisi yang berimbang, sehingga pada lembaga legislatif terjadi check and balance atau saling peduli satu sama lain.
Perihal pemungutan dan penghitungan suara model noken, perlu dipertanyakan lebih serius. Meskipun ini bagian dari demokrasi sistem masyarakat adat, faktanya model tersebut digunakan untuk manipulasi dan kecurangan. Ditemukan fakta pula bahwa sistem ini terlalu mudah untuk menggelembungkan suara tanpa ada transparansi. Noken dan konstitusional bersayarat di Papua ini mencakup: (1) Tidak berlaku secara umum di Papua; (2) Bersifat lokal dan konkret; dan (3) Melanggar prinsip pemilu jujur dan adil.
Penegakan hukum pemilu menjadi konsen tim Pusako berikutnya. Hal ini meliputi terlalu banyaknya pintu, ada Bawaslu, PTUN, kemudian pemisahan terlalu jauh antara sengketa administrasi, sengketa pemilu, perselisihan hasil, dan peradilan khusus pemilu yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 dan Pasal 157 Undang-Undang Pemilihan.
Hasil riset implementasi teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemilu dipaparkan tim Universitas Airlangga, Kris Nugroho. Urgensi dari implementasi ini meliputi: (1) Pemilu merupakan instrumen kelembagaan untuk mengubah suara menjadi kursi, menghasilkan elected political appointee; (2) KPU bertugas dan berwenang menyelenggarakan pemilu berdasarkan prinsip-prinsip imparsial, integritas, transparan, efektif, efisien, professional dan memiliki rasa tanggung jawab kepada pemilih; (3) Teknologi informasi diperlukan KPU untuk menghasilkan transformasi tata kelola pemilu yang efektif, cepat, transparan dan akuntabel diseluruh jajarannya; (4) Penerapan teknologi informasi memberikan kesamaan bagi peserta dan pemilih, sehingga mengurangi potensi keberpihakan penyelenggara; serta (5) Menghasilkan best practice bagi KPU untuk bekerja profesional dalam penyelenggaraan serta mendorong peserta pemilu UNTUK disiplin mengikuti dan menghargai prosedur yang berlaku dalam tata kelola pemilu.
Kris menerangkan lebih lanjut kesimpulan dan kendala dari sisi teknologi informasi dalam hasil riset ini, antara lain: (1) KPU sudah memasuki transisi adopsi teknologi informasi menuju modernisasi penyelenggara pemilu; (2) Adanya perbedaan kualitas sumber daya manusia (SDM) antara penyelenggara pemilu (adhoc) yang tidak sama pemahaman terhadap teknologi informasi yang digunakan; (3) Masalah aksesibilitas jaringan antar daerah yang tidak sama turut menjadi factor kendala, hal ini terbukti pada saat pelaksanaan aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).
“Pada kesempatan ini tim kami merekomendasikan bahwa KPU perlu membentuk 5 (lima) klaster server untuk menampung limpahan big data pemilu dengan kapasitas bandwidth yang besar, yaitu klaster Sumatera, klaster Jawa-Madura, klaster Bali, klaster NTB, klaster NTT, klaster Kalimantan, klaster Sulawesi, serta klaster Maluku-Papua. KPU perlu membuat road map pengembangan SDM yang spesifik menguasai teknologi informasi pemilu. KPU juga perlu membuat sistem teknologi informasi pemilu yang terintegrasi, tidak parsial dan otonom, harus solid, serta dengan legitimasi hukum yang kuat dicantumkan dalam undang-undang,” imbuh Kris. (Humas KPU Kabupaten Bandung)