BUDAYA LITERASI ELEKTORAL PEMILIH

Bandung, kab-bandung.kpu.go.id – KPU Kabupaten Bandung mengikuti kegiatan webinar yang digelar oleh KPU Kabupaten Tasikmalaya, pada Kamis (19/5/22), dengan mengusung tema tentang Peran Strategis Perguruan Tinggi dalam Mengembangkan Budaya Literasi Elektoral Pemilih. Kegiatan ini sebagai salah satu bentuk kerjasama KPU Kabupaten Tasikmalaya dengan Perguruan tinggi dalam penguatan literasi Politik. Menghadirkan Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP), Juri Adrianto, Ph.D serta Rektor Institut Agama Islam Latifah  Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya, Dr. Asep Salahudin, M.A yang bertindak sebagai narasumber.

Ketua KPU Kabupaten Tasikmalaya, Zamzam Zamaludin, dalam sambutannya menyampaikan bahwasannya KPU Kabupaten Tasikmalaya sebagai penyelenggara Pemilu tentu memiliki komitmen yang tegas dalam mewujudkan visi misi KPU RI, yakni menjadi penyelenggara Pemilu yang mandiri, professional, berintegritas untuk terwujudnya Pemilu yang Luber dan Jurdil. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, salah satunya tentu dengan perguruan tinggi yakni Institut Agama Islam Latifah  Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya. Zamzam berharap dengan dijalinnya Kerjasama tersebut dapat menjadi jalan mencapai kesusksesan dalam membangun demokrasi. Perguruan tinggi memiliki peran yang sangat strategis di dalam pelaksanaan Pemilu, dimana perguruan tinggi dapat berperan dalam penyelenggaraan Pemilu sebagai pengawas atau pemantau pemilu yang dapat menjaga etika dan nilai-nilai agar demokrasi tidak tercederai , serta dapat berperan sebagai fasilitator terutama dalam Pendidikan politik kepada mahasiswa itu sendiri maupun kepada masyarakat pada umumnya, selain itu perguruan tinggi juga dapat berperan sebagai edukator yang dapat menciptakan masyarakat yang melek politik, untuk mendorong partisipasi pemilih yang cerdas. Ungkap Zamzam.

Menurut Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP), Juri Adrianto, yang menjadi salah satu problem terbesar dalam Kepemiluan di Indonesia, tidak hanya menyoal teknis penyelenggaraannya, kandidat, pemilih dan sebagainya, melainkan salah satu problem yang saat ini tengah dihadapi adalah adanya eskalasi dimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemilu semakin menurun, yang artinya tingkat ketidakpercayaan semakin naik. Hal tersebut dinilai oleh Juri, sebagai hasil dari matangnya politik masyarakat atau justru merupakan kegagalan literasi politik masyarakat Indonesia. Juri menambahkan, jika masyarakat sudah tidak percaya terhadap Pemilu, maka keikutsertaan masyarakat dalam memberikan hak suaranya pun tidak lagi didasarkan pada kesadaran penuh untuk memilih, menurutnya situasi tersebut sangat tidak produktif dalam menjadikan Pemilu sebagai jalan memperbaiki kehidupan berbangsa. Disinggung oleh Juri, dalam banyak riset ditunjukan bahwa apatisme dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemilu, disumbang oleh kalangan masyarakat terdidik, baik di kampus maupun komunitas terdidik lainnya. Untuk itu, literasi politik di kalangan terdidik seperti ini perlu dibangun oleh kalangan perguruan tinggi sendiri, pungkas Juri..

Sementara itu, Asep Salahudin selaku Rektor IAILM Surlayala, menanggapi apa yang disampaikan oleh narasumber sebelumnya, bahwa apatisme terhadap Pemilu khususnya dan terhadap sistem Pemilu pada umumnya  perlu digeser menjadi optimisme sehingga politik yang diselenggarakan dalam demokrasi lima tahunan betul-betul dapat kembali kepada demokrasi seutuhnya. Asep menjelaskan, Perguruan Tinggi mempunyai peran penting sebagai basic civic education untuk Pendidikan masyarakat terutama dalam hal ini adalah Pendidikan politik,  sebagai voter information dimana kelengkapan informasi inilah yang akan meyakinkan publik tidak lagi apatis terhadap pemilihan umum serta voter education. Asep menambahkan, ketika literasi politik tidak terbangun, maka yang terjadi adalah politik yang serba transaksional. Dalam literatur elektoral diperlukan tiga dimensi  yang saling berkesinambungan yaitu knowledge, skill dan value.

Asep juga menjelaskan mengenai kaitannya perguruan tinggi dengan penguatan tiga jalan keuatamaan untuk politik yang berkeadaban yakni 1) Rekognisi, yaitu politik pengakuan, selama tidak ada politik pengakuan maka politik yang diselenggraakan akan banyak mengalami kemacetan dan memunculkan banyak anomali, 2) Refresentasi, yaitu keterwakilan (mayoritas/minoritas) atas nama budaya tanpa harus terjebak pada pemahaman yang sempit , dan 3) Redistribusi, bagaimana politik yang dikelola pada akhirnya berujung pada proses keadilan yang merata kepada semua pihak. Tanpa adanya ketiga hal tersebut maka seluurh proses politik yang dilakukan, hanya akan menebalkan sifat dan perasaan apatisme ditengah masyarakat. Tentu hal ini menjadi tantangan semua pihak, dan perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk semakin meyakinkan publik, bahwa demokrasi yang kita selenggarakan menjadi jawaban untuk kehidupan yang lebih baik.   (Humas KPU Kabupaten Bandung).

Follow Us

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 41 Kali.